Sunday, November 16, 2014

Hati Bicara Part 1

Saya duduk persis di sudut waktu saya menunggunya. Kali ini saya ingin enyahkan semua obsesi saya tentang kopi. Semua tulisan sisi ceria hidup saya. Izinkan saya untuk mencurahkan bulatan rasa pahit yang mengganjal.
Beberapa minggu ini saya menjadi orang yang didatangi saat beberapa teman mengalami masalah. Curhatan mereka tentang pernikahan yang semakin dekat, perselingkuhan, keluarga dan banyak hal. Di saat saya merasa membutuhkan sandaran untu bercerita, saya tahu mereka pasti ada. Tapi saya tidak butuh itu semua saat ini. Saya butuh dia.
Kopikina. Sebuah tempat yang awalnya tidak saya perhitungkan. Saya pun malas untuk mampir ke kedai kopi dekat rumah saya. Hingga pembicaraan dengannya
mengarahkan saya ke tempat ini.

Soal lidah untuk kopi, aku selalu di Kopikina. Kamu tahu Kopikina?
Nope. Di mana itu?
Di Tebet. Dekat flyover menuju Kota Kasablanka. Tapi kamu jangan naik. Ambil jalur kiri. Kopikina ada di situ.
Oh, aku tahu! Okay, akan aku coba.

Tempat ini lah yang sekarang selalu menjadi tujuan saya di akhir pekan. Meluangkan waktu untuk sendiri, kadang bersama sahabat saya yang curhat. Tapi hari ini ada yang berbeda. Sebuah memori berputar kuat di dalam benak saya. Memori yang terjadi hari Senin, 3 November 2014 pukul 18.18. Mari kita putar waktu sejenak.

-------
Aku sampe. Kamu di mana?
What? Jadi? Kamu nggak ada kabar. Aku pikir nggak jadi
Jadi. Ini aku udah sampe. Jadi gimana?
Aku lagi anter bunda. Abis ini aku kesana. Maaf ya..

Saya duduk menunggunya. Bersama kopi Sipirok panas yang mencoba menenangkan saya. Menemani melewati waktu sekaligus mempersiapkan diri untuk bertemu seseorang yang belum pernah tatap muka secara langsung dengan saya. Kopi darat. Mungkin itu adalah istilah yang tepat.
Pikiran saya penuh dengan asumsi. Penuh dengan kekhawatiran. Penuh dengan prasangka yang membuat jantung ini bergerak cemas mengalirkan darah yang terlalu deras ke sekujur tubuh saya. Saya tidak tenang. Mempersiapkan semuanya agar tampak sempurna. Sebuah kado kecil di dalam plastik saya tempatkan di kursi yang akan didudukinya. Saya benahi agar tampak lebih cantik untuk seseorang yang baru pertama kali saya temui. Walaupun hasilnya seperti tak berubah dari posisi awal. Saya lap sepatu agar terlihat bersih. Merapikan tatanan rambut agar terlihat niat menemuinya. Menyemprotkan parfum dan menata barang di atas meja agar tak tampak serabutan. Hingga tak terasa sudah 3 jam saya menunggu kedatangannya. Dia belum muncul namun sudah diperjalanan menuju Kopikina. Hingga sebuah pesan masuk...

Aku di depan. Ramai banget ya. Mau pindah?
Kamu masuk aja dulu. Aku tunggu di dalam.
Kamu duduk di mana?
Cari aja yang duduk sendirian di meja pojok dekat kasir.

Dia masuk. Menggunakan baju hitam dan denim jacket. Tersenyum dan berjalan menghampiri. Saya balas senyumnya. Semua rasa terukir jadi satu. Lega, waswas sekaligus tak sabar untuk mendengar ia bercerita.

"Hai. Kita belum kenalan secara langsung, kan?" katanya membuka pembicaraan sambil mengulurkan tangan.
Saya menjabatnya. Saling mengucap nama dan sepersekian detik dalam keheningan.
"Itu untuk kamu," saya mencoba memecah keheningan sambil menunjukkan plastk kado untuknya.
Dia mengintip dan mengucapkan terima kasih sembari tersenyum.
"Ini untuk apa?" tanyanya
"Tadi aku liat dan kepikiran buat beliin kamu. Kamu pernah bilang kamu suka itu. Jadi aku beliin," jawabku.

Lalu pembicaraan hangat mulai terjadi. Kami banyak tertawa. Mulai memperlihatkan sisi sisi yang masih tersembunyi. Seolah itu bukan pertemuan pertama. Ia sering membuat saya malu. Membuat saya melihat pada tembok bata yang tentu tak berbicara. Keramaian suasana seolah menghening. Saya tak perduli. Pembicaraan hangat itu terus terjalin hingga pukul 01.00 dini hari. Kami memutuskan pulang.

Cukup dengan cipika cipiki singkat dan ia berlalu.

-----
Hari ini saya duduk di sisi yang sama. Menuliskan cerita tentangnya. Semua perasaan tercampur jadi satu. Deg-degan dan jantung bekerja lebih cepat memompa aliran darah dengan derasnya ke seluruh bagian tubuh saya. Saya menunggunya. Namun bukan untuk mendatangi saya. Saya menunggu kabarnya. 3 hari sudah ia menghilang. Tanpa kabar tanpa cerita.
Terakhir saya menghubunginya tanggal 13 lalu. Tak ada yang salah. Saya yakin tak ada yang salah. Kami masih tertawa dengan candaan khasnya yang memang selalu menggelitik. Bahkan senyum selalu ada saat mengingatnya. Saya tidak tahu di mana dia. Saya sudah melakukan yang tebaik untuk mencarinya, menghubunginya. Namun hingga detik ini dia tidak ada.
Di sudut yang sama, saya menunggunya dengan tidak pasti. Secepat itu semua berlalu. Secepat itu kebahagiaan yang baru saja mulai saya rasakan seolah hilang dengan sisa ampas getir yang tak larut dalam hati saya.
Sebagian yang membaca mungkin menertawakan dengan tingkat kegalauan saya yang pekat ini. Tapi coba bayangkan ketika kamu sudah membuka hati yang lama terkunci. Mencoba memulai sesuatu yang lama tak kau sentuh. Mengambil bibit yang lama kau cari. Saya telah membawa bibit ini. Mulai menggenggam dengan penuh harap untuk tumbuh subur. Saya ingin menanamnya. Merawatnya dengan siraman kasih sayang dan pupuk ketulusan. Namun sesampai di rumah, saya menyadari bibit kecil yang saya genggam terjatuh entah di mana. Tanpa petunjuk, tanpa isyarat. Ya saya kini sedang menyusuri jalanan yang saya lalui. Berharap menemukan bibit yang jatuh di antara batu batu di perjalanan.
Semoga saya bisa menemukannya. Saya takkan menjatuhkannya lagi. Pasti.

Untuk kamu dengan semua tawa yang masih membekas..

Saya Shilla Dipo, ciao...
 

No comments:

Post a Comment