Friday, November 4, 2016

SURAT UNTUK INDONESIA: 4 NOVEMBER 2016

Assalamualaikum Wr. Wb
Salam sejahtera bagi kita semua.
Untuk saudara sesama Muslim, untuk saudara se Tanah Air, untuk sesama manusia. Saya ingin sekali menyampaikan pendapat mengenai aksi yang berjalan pada tanggal 4 November 2016 ini.

Pagi ini saya tersenyum ketika perjalanan menuju Alam Sutra pagi tadi. Kebetulan saya harus bekerja meliput salah satu resto yang baru saja buka di sana. Ya, di tengah sibuknya para pemburu berita menunggu aksi demonstran hari ini, saya justru melipir ke Alam Sutra untuk berita lain.

Saat melewati Jalan Jendral Sudirman, saya melihat beberapa kali sekelompok orang Muslim, berjalan beriringan menuju halte bus Trans Jakarta. Mungkin mereka ingin ke Masjid Istiqlal, pikir saya. Mereka berjalan, dengan wajah tenang, tanpa amarah, sambil sesekali berbincang satu sama lain. Nampak damai dan saya yakin, memang itu yang mereka ingin lakukan. Berorasi dengan damai.

Tak hanya mereka, beberapa saudara seiman juga saat itu ada yang naik motor, tetap dengan wajah penuh damai. Saya semakin optimis bahwa kerusuhan dapat dihindarkan.

Ketenangan saya semakin terasa ketika mendengar di berita bahwa para demonstran sudah ada yang pulang dan sebagian kembali menuju Masjid untuk menunggi Isya.

Bahkan, mereka yang dari Cirebon, Tasik, dan Bogor juga mulai merapatkan barisan untuk pulang. Namun alangkah kagetnya saya ketika melihat kondisi yang tiba tiba rusuh. Polisi melempar gas air mata, sebagian orang mencoba merubuhkan pagar, kerusuhan tak bisa dihindari. Wanita, orang tua, dan anak anak ada yang panik, bahkan mengalami luka ringan akibat aksi ini. Lebih sedihnya lagi, ternyata ada orang-orang dengan pakaian FPI yang ternyata bukan anggota FPI.

Dia mengungkapkan dirinya adalah Nasrani. Sebagian terpancing, menganggap bahwa Nasrani ingin menghancurkan nama Islam. Bagi saya tidak. Nasrani masih satu benang merah dengan Islam. Kitab mereka sangat menjunjung kasih sayang dan cinta damai. Saya yakin, ini tak lain hanyalah segelintir orang yang ingin mengadu domba rakyat, menggunakan agama. Ini baru penistaan agama yang paling kejam, sekaligus upaya memecah NKRI menurut saya.

Saya sedih...sangat sedih. Kesedihan ini bertambah karena ada saja orang" yang justru semakin menghina Islam. Mereka mengatakan bahwa saudara-saudara kita yang berorasi hari ini adalah orang bodoh, tolol, dan sebagainya. Padahal tidak sama sekali. Mereka orang beragama. Lihat bagaimana hingga Maghrib tadi umat Muslim membuktikan mereka mampu berorasi dengan damai, meski dihadiri ribuan orang. Masya Allah.

Oknum kepentingan yang tidak bertanggung jawab bahkan berhasil membuat umat Muslim menjadi geram dengan kepolisian dan pemerintah. Mereka menganggap aksi polisi yang melempar gas air mata adalah bentuk tidak adanya tanggung jawab pemerintah dalam mendengar aspirasi kaum Muslim. Mereka menganggap polisi lah yang memancing amarah umat Muslim. Padahal, ini adalah aksi provokator yang mengadudomba rakyat dan aparat.

Saudaraku, jangan mudah terprovokasi, mencibir, ataupun menghina. Kita bukan mereka yang tak beradap. Mereka semua, baik pemerintah, aparat, dan demonstran adalah saudara kita. Saurada seiman. Jika berbeda keyakinan, setidaknya mereka sesama manusia. Junjungan Besar Nabi Muhammad SAW bahkan selalu berdakwah dengan damai, meskipun hinaan dan cacian terlontar untuknya. Jangan mau diadudomba. Kita manusia yang punya akal. Manusia yang punya iman. 
Provokasi ini hanya ingin merusak nama Islam dan ormas ormas Islam yang sebenarnya bisa berorasi dengan damai.

Saya yakin, Mereka itu beradap karena landasannya Al Quran dan melakukan aksinya untuk Allah..bukan kepentingan politik. Murni karena pembelaan atas Quran dan rasa cinta pada Maha Kuasa. 

Dan saya yakin saudara" saya yang seiman ini bukan orang biadab. Mereka pasti tau kalo aksi ini memang selayaknya damai. Mengingat yang ikut ada wanita serta anak anak.

Mari kita berdoa agar NKRI tak goyah dengan aksi adu domba ini dan saudara sesama Muslim bisa pulang dengan selamat tanpa terprovokasi. Aamiin. Allahu Akbar.. Allahu Akbar.. Allahu Akbar

Wassalamualaikum Wr. Wb.

- S. Dipodiputro

Friday, April 22, 2016

Benarkah Ekspektasi Perlu Dihilangkan Agar Tak Merasa Kecewa?

Hello, it's me.......again. Sebelumnya, saya mau bercerita sedikit tentang apa yang saya lakukan dua hari yang lalu. Wah, it was a great day! I met the first winner of World Barista Championship 2014. His name is Hidenori Izaki. Tak hanya itu, saya pun bertemu dengan komunitas Barista Indonesia. Banyak perbincangan menarik, banyak teman baru, dan tentunya pengalaman baru. Oh, ada salah satu kutipan dari rekan media bernama Wulan, "Memang, gaji wartawan nggak besar banget, tapi kita bisa duduk bersama rakyat jelata, hingga orang penting, bahkan Presiden sekalipun." Hmm, membuat saya bersyukur menjalani profesi ini.

Now, it is time to talk about the topic: Benarkah ekspektasi perlu dihilangkan agar tak merasa kecewa? Pertanyaan ini saya renungkan ketika banyak orang yang mengatakan, "less expectation is better." Awalnya, saya sempat berpikir demikian. Cukup lama saya memegang prinsip tersebut. Saat itu, saya berpikir jika ekspektasi yang tinggi akan membuat kita mudah kecewa. Lebih baik berpikir buruk, sehingga jika hasilnya baik maka bersyukur dan jika tidak, kita pun tak merasa kecewa.

Dua hari yang lalu, usai liputan yang menyenangkan dengan bertemu orang-orang kopi tersebut, saya terlibat sebuah perbincangan menarik dengan Fina. Bagi saya, dia orang yang sebenarnya cerdas, kritis, pemikir, bahkan mampu mengamati berbagai kejadian dengan cukup detail. Sayangnya hanya satu, rasa percaya dirinya seringkali luntur entah mengapa. Jika saya perhatikan, banyak kesempatan baik yang justru luntur akibat rasa percaya diri yang kendur.

"Rasanya, aku nggak bisa memenuhi ekspektasi banyak orang terhadapku," ucapnya saat itu. Ekspektasi dan harapan. Terbesit di otak saya, apakah hidup saya ini--dengan menjadi wartawan--sudah memenuhi ekspektasi orang-orang di sekeliling saya? Saya coba jabarkan dulu pemikiran saya di tulisan ini, ya.

Ibu saya adalah seorang psikolog. Saat dulu saya ingin terjun ke dunia kuliah, ia berharap saya dapat melanjutkan cita-citanya yang tertunda--menjadi arsitek. Pada saat yang sama, almarhum kakek saya pernah menitip pesan agar saya masuk ke jurusan hukum. Berbeda lagi dengan ayah saya yang seringkali menawarkan Fakultas Kedokteran untuk digeluti. Semua orang memiliki ekspektasi yang berbeda terhadap diri saya. Semua jurusan tersebut sudah saya coba, namun gagal di tengah jalan. Ujungnya, saya nyemplung ke Jurusan Hubungan Internasional.

Saya ingat betul ketika saya sedang menginap di salah satu tempat bimbingan belajar, Inten Kalimalang (entah mengapa dulu saya rajin banget sampai menginap di tempat bimbingan belajar). Malam itu, saya dan teman-teman yang menginap juga, berkumpul di ruang tengah untuk berdoa karena hari itu adalah pengumuman hasil ujian masuk jalur mandiri Universitas Padjadjaran. Alhamdulillah, saya menjadi orang pertama yang menerima sms dari UNPAD di mana isinya adalah pernyataan bahwa saya lolos.

Tentu, ucapan selamat datang dari teman-teman saat itu dan saya langsung mengabari kedua orangtua. Karena hari itu sudah menunjukkan pukul 1 dini hari, maka tentunya kedua orangtua sudah terlelap. Keesokan harinya, saya masih di Inten karena mengikuti kelas intensif untuk SNMPTN. Tak ada balasan dari keluarga. Sedikit kecewa, sedih, namun tetap bersyukur dengan pencapaian yang saya dapatkan. Saya pun pulang, dan seingat saya, masih tidak ada ucapan apapun dari keluarga.

Saya menanyakan apakah mereka menerima sms dari saya atau tidak. Saat itulah mereka baru memberikan selamat, meski tidak terlihat antusias. Orangtua, terutama mama, memang kurang berkenan jika saya harus kuliah di luar kota, Pendaftaran UNPAD pun saya lakukan dengan memaksa kedua orangtua saya terlebih dahulu, walaupun ayah saya setuju-setuju saya.

Saat itu saya paham betul, pencapaian tersebut tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. Setidaknya, itu yang saya lihat. Kekecewaan itu tetap saya rasakan, namun bukan berarti membunuh semangat. Sebaliknya, saya ingin mereka memahami bahwa dengan masuk ke universitas yang saya inginkan itu, saya pun tetap akan membanggakan mereka--sesuai dengan ekspektasi mereka.

Sekarang, saya bekerja sebagai wartawan. Honestly, gaji seorang wartawan tidaklah besar. Biasa saja. Apakah profesi saya sesuai ekpektasi orangtua? Hmm, I don't know. Mungkin dulu mereka jelas mengatakan, "Kamu nggak mau kerja di perusahaan multinasional atau pemerintahan?" Jawaban saya, "nope". Memang, mungkin kesejahteraan saya bisa lebih terpenuhi. Namun, apakah hal tersebut menjamin kebahagiaan saya?

Ada dua hal yang ingin saya tekankan di sini. Pertama, bagaimana kita berekspektasi pada orang lain, dan yang kedua adalah bagaimana menanggapi ekspektasi orang lain atas kita.

Ekspektasi Atas Orang Lain

Seperti rasa kecewa saya dengan orangtua yang tak memberi selamat, atau menunjukkan rasa senang ketika saya masuk UNPAD, saya yakin rasa kecewa itu muncul karena reaksi mereka tak sesuai dengan ekspektasi saya. Ketika lulus, saya bertanya pada mama mengapa ia tidak senang saat saya masuk UNPAD dulu, mama menjawab, "Siapa bilang mama nggak senang? Mama senang, tapi memang agak khawatir aja karena kamu di sana. Masa iya mama nggak senang anaknya masuk universitas negeri."

Saya tersenyum sekaligus malu, karena pemikiran saya selama kurang lebih 5 tahun, salah. Hal yang membuat kekeliruan ini, tak lain adalah ekspektasi. That's why banyak orang berkata, "less expectation is better" karena memang sebaiknya tak perlu berekspektasi dengan orang lain. Hilangkan ekspektasi atas orang lain, jika kita ingin melihat kemurnian dari orang tersebut. Sulit dipahami, ya?

Intinya begini, saat kita berekspektasi atas orang lain, maka kita berharap agar orang tersebut melakukan atau bereaksi atas suatu hal, sesuai dengan cara pemikiran kita. Padahal, setiap kepala tentu punya pemikiran berbeda sehingga caranya pun berbeda dalam berekspresi. Tak hanya itu, pemikiran yang berbeda juga tentu membuat orang lain memiliki keinginan dan tujuan yang berbeda. Simple-nya deh, kita berharap saat ulang tahun nanti, pasangan memberikan kejutan dengan makan malam romantis berdua. Tapi yang terjadi, ia justru mengundang seluru teman-teman kita untuk memberikan kejutan. Meski senang, tapi pasti terbesit rasa kecewa, kan? Dengan ekspektasi atas orang lain, maka kita tidak bisa melihat kemurnian dari niat baik seseorang. Tanpa sadar, kita pun menghancurkan ekpektasi pasangan, bukan?

Karena alasan-alasan ini, saya lebih baik berhenti berekspektasi atas orang lain. Mungkin memang sulit untuk dilakukan, namun setidaknya saya mengurangi ekspektasi dan kalaupun tanpa sadar harapan itu muncul, saya akan memikirkan pula resikonya sebagai antisipasi dari ekspektasi saya. Lagi pula, menghilangkan ekspektasi sepertinya juga membuat kita menjadi lebih ikhlas, deh.

Ekspektasi Orang Lain Atas Kita

Untuk poin ini sebenarnya agak sedikit tricky, ya. Tapi here is the fact, waktu itu saya pernah menulis 5 hal yang seringkali disesali saat seseorang mendekati ajal. Salah satu penyesalan tersebut adalah 'hidup dalam ekspektasi orang lain'. Mengapa kita harus repot memenuhi ekspektasi orang lain, walaupun hal tersebut bukanlah yang kita inginkan? Hidup dalam harapan orang lain, menurut saya, artinya tidak memiliki arah. Kita bisa saja bingung karena tak tahu ekspektasi siapa yang seharusnya dipenuhi.

Lakukan sesuatu karena memang kita ingin melakukannya. Jangan melakukan sesuatu karena paksaan. Mengapa? Bagi saya, setiap hal tentu ada resiko, bukan? Ketika hal tersebut merupakan dorongan dari orang lain, kita pasti akan menyesal ketika resiko itu datang menghampiri. Remember, other people may suggest you something, they help you to make a decision by their suggestion, BUT when the risk comes, you are the only one who face it. Ingat, ini adalah hidup kita, jadi jangan biarkan orang lain yang mengaturnya.

Masukan boleh saja didengarkan, selama hal tersebut sesuai dengan arah dan tujuan hidup kita. Prinsip hidup. Wait a second, apakah kalian tahu apa tujuan hidup kalian? Jika tidak, come on! Pikirkan dari saat ini, agar kita dapat menaruh ekspektasi pada diri, memiliki prinsip, dan tahu mana yang baik dan tidak untuk kita. Hal ini membuat kita tak mudah disetir oleh orang lain. Ketika orang lain mengekspektasikan sesuatu yang tak sesuai dengan tujuan hidup, kita bisa mengatakan pada mereka, "I want this and I don't want that. I know my way, and I just need you to pray for me. Wish me luck!"

Apabila keputusan kita salah, dan orang tersebut mencibir, kita pun tidak akan peduli. Mengapa? Karena dari kesalahan dan kegagalan itulah kita berkembang, berproses, untuk mencapai apa yang kita tuju. Kita pun tak akan menyalahkan siapapun, dan penyesalan akan berkurang. "Yes I was wrong, but now I know how to pursue my dream."

Masalahnya, bagaimana kita mengetahui apa yang sebenarnya kita inginkan? Talk to yourself. Daripada curhat, lebih baik banyaklah berkomunikasi dengan diri sendiri. Jelas terpercaya dan tak akan menjatuhkan. Apapun masalah kita, cobalah untuk tenang dan berkomunikasi dengan diri sendiri. Tanyakan, apa yang membuat kita bahagia, mau menjadi apa kita. Ingat, jangan menjadikan oranglain sebagai alasan. Satu-satunya yang melibatkan orang lain adalah pertanyaan ini, "saat saya mati nanti, mau dikenal sebagai sosok yang seperti apakah saya?" Kematian adalah akhir proses hidup, di mana saat itulah citra diri yang sesungguhnya melekat pada kita.

Jadi, hilangkan ekspektasi untuk orang lain dan tak perlu khawatirkan ekpektasi orang lain atas kita. berekspektasilah pada diri sendiri. Tak perlu teman diskusi, cukup diri sendiri dan Tuhan tentunya. God will help you, anyway. Ah, saya punya quote yang yah, lumayan kayaknya.

"The solution of your problem is hiding in your brain and you won't find it until you talk to yourself," - Shilla Dipo

Mantap! Hahaha..(anyway, quote ini dibuat di taksi saat bersama Fina saat saya di jalan pulang).

Saya Shilla Dipo, ciao!




Thursday, April 21, 2016

Mengartikan Emansipasi Yang Berarti Menghilangkan Diskriminasi

Hari ini saya merasa mencium udara kebebasan bagi perempuan. Ada rasa syukur, bangga, sekaligus senang dilahirkan sebagai kaum hawa. Alhamdulillah, Allah menakdirkan saya sebagai perempuan. Tentu hal ini berkaitan dengan Hari Kartini, di mana Indonesia tak hanya merayakan ulang tahun perempuan kelahiran Jepara ini namun juga emansipasi wanita Indonesia.

Emansipasi. Satu kata yang mencerminkan kebebasan dalam berekspresi dan berkarya dalam kesetaraan. Membongkar belenggu diskriminasi yang dulu dirsakan oleh kaum perempuan. Lalu, bagaimana saya mengartikan emansipasi? Bagi saya, emansipasi wanita adalah bentuk penyetaraan antara perempuan dengan laki-laki. Sebatas itukah? Tentu tidak.

Mengutip dari Teti, Co-Founder Kredibilitas (sebuah aplikasi yang memudahkan kaum disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan formal), "Emansipasi itu adalah penyetaraan, bukan pertarungan antara laki-laki dan perempuan." Awalnya, saya merasa bahwa hal tersebut umum diketahui, namun fakta berkata lain. Banyak perempuan yang ingin dilihat lebih ketimbang laki-laki. Mereka merasa bahwa "perempuan itu lebih lembut", "perempuan itu lebih pintar", "perempuan itu lebih bersih", dan sebagainya. Padahal jika emansipasi diartikan sebagai kesetaraan, bukankah seharusnya laki-laki dan perempuan sama-sama dipandang sebagai manusia, tanpa klasifikasi gender?

Mengeneralisasikan "perempuan itu A, B, C," justru menurut saya adalah bentuk dari diskriminasi. Bagi saya, penyetaraan bukanlah membuat perempuan seolah menjadi lebih daripada laki-laki, namun mendapatkan kesempatan, perlakuan, serta kesetaraan yang sama dengan laki-laki. Jangan sampai emansipasi justru dijadikan alat bagi perempuan untuk mendapatkan apa yang ia mau, lalu kemudian menolak kesetaraan ketika terjadi hal-hal yang merugikannya. Maksudnya?

Saya memiliki seorang teman yang tak mau saya sebutkan namanya. Untuk menyamarkannya sekaligus memudahkan penulisan, sebut saja namanya Rilla--karena Mawar sudah terlalu mainstream untuk menjadi nama samaran. Lanjut, Rilla ini selalu merasa bahwa dirinya bisa menyaingi laki-laki dalam berbagai hal, mulai dari cara kerja, hingga pola pikir. Ia pun sangat benci ketika perempuan seolah direndahkan oleh kaum Adam.

Lucunya, ketika ia diminta untuk bergantian menyetir kendaraan misalnya, ia akan menjawab, "yah, lo kan cowok. Lo dong, yang nyetir. Masa laki-laki disetirin sama perempuan." Pernyataan tersebut menurut saya, justru mendiskrimiasikan dirinya sebagai perempuan, bukan? Hal ini masih banyak terjadi di luar sana, saya yakin sekali.

Menurut pandangan saya, emansipasi yang diperjuangkan Kartini merupakan salah satu cara agar perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan dan kesetaraan, bukan untuk membuat wanita berkuasa--menggunakan kata emansipasi untuk mendapat peluang dan kesempatan lebih, namun menolaknya ketika diminta melakukan yang mereka anggap sebagai 'pekerjaan laki-laki'. Seharusnya, tak ada lagi pekerjaan atau kegiatan yang diidentikan pada sebuah gender. Semua kembali kepada masing-masing, "manusia seperti apakah saya".

"Perempuan itu lembut", "perempuan itu bersih", selayaknya diganti dengan "Manusia itu lembut", "manusia itu bersih". Bukankah kebersihan, kelembutan, perhatian, memang selayaknya menjadi sifat manusia yang dibutuhkan dan bukan hanya milik perempuan? Misalnya, di dalam sebuah bis yang penuh, terdapapat wanita berumur lebih dari 60 tahun. Banyak yang melihat bahwa seharusnya, laki-laki memiliki inisiatif lebih dulu untuk memberinya tempat duduk. Bagi saya, siapapun yang lebih muda dan masih kuat untuk berdiri, berikanlah kursi tersebut pada wanita paruh baya itu. Ya, kan? Jangan sampai, diskriminasi justru dirasakan oleh pria.

Saya jadi teringat, sebuah video YouTube yang menunjukkan tentang reaksi banyak orang dalam dua situasi berbeda: pria melakukan kekerasan pada wanita dan wanita melakukan kekerasan pada pria. Hasilnya, saat pria yang melakukan kekerasan pada wanita, semua orang langsung datang dan menegur pria tersebut. Tak hanya satu orang, melainkan banyak orang. Sebaliknya, saat wanita yang melakukan kekerasan pada pria, masyarakat hanya menonton, bahkan menertawai sang pria.

Berdasarkan data Center for Disease Control and Prevention tahun 2010, jumlah pria yang mengalami kekerasan adalah 5.365.000, di mana angka ini lebih tinggi ketimbang kasus yang menimpa wanita, yaitu sebanyak 4.741.000. Hal ini menunjukkan jika masyarakat pun--tak hanya di Indonesia--masih belum dapat mengartikan penyetaraan tersebut dalam segala aspek. Inikah yang dinamakan emansipasi?

Sebagai perempuan, kita perlu menekankan bahwa tugas dalam mengartikan emansipasi ini masih banyak. Kesetaraan tetap perlu dijaga agar tak ada persaingan dan pertarungan antara pria dan wanita. Ingat, Kartini tidak memerjuangkan kesetaraan untuk membuat wanita menjadi sombong dengan segala kemudahan atas penyetaraan gender, melainkan untuk menjadi perempuan yang sesungguhnya, perempuan yang dapat memaknai arti kata perempuan itu sendiri.

Oh iya, tahu kah, apa arti kata perempuan? Ibu Ida, guru Bahasa Indonesia SMP 115 Jakarta (guru saya), pernah menyampaikan bahwa perempuan diambil dari kata per-empu-an. Empu sendiri memiliki arti 'yang dihormati' atau 'yang dimuliakan'. Artinya, perempuan memiliki arti kata tersebut, sehingga untuk melayakkan diri agar dihormati dan dimuliakan, perempuan perlu memanfaatkan emansipasi ini untuk ambil andil dalam perubahan dunia yang lebih baik, namun tetap tidak tinggi hati dengan menyombongkan diri atas kemuliaan, kesetaraan, dan kemampuannya.

Pandanglah manusia sebagai manusia, sehingga kita menjadi manusia yang lebih manusiawi, memiliki sifat kemanusiaan. Jadilah wanita yang memanfaatkan kesetaraan ini dengan lebih baik lagi, memberi perubahan, agar nantinya pemimpin, inisiator, influencer wanita bukanlah hal yang istimewa lagi, melainkan sudah selayaknya seperti itu. Ingat, emansipasi dan penyetaraan belumlah usai.

Anyway, saya tidak menyinggung pihak manapun, sehingga maaf apabila ada kesalahan kata maupun yang kurang berkenan. Selamat Hari Kartini!

Saya Shilla Dipo, ciao!

Tuesday, April 19, 2016

Mungkin, Ini Yang Dibutuhkan Oleh Lalu Lintas Jakarta

Dan kota-kota besar lainnya. Beberapa hari yang lalu saya sempat melihat aksi seorang anak yang masih duduk di kelas 4 SD menghadang pengendara motor yang lewat di trotoar. Meski sempat adu mulut, pengendara motor akhirnya mundur dan turun dari trotar. Hebat banget aksi anak itu, tak heran ia mendapat apresiasi dari Walikota Semarang.

Kemudian saya berpikir lebih lanjut, bukankah seharusnya itu yang dilakukan kita semua? Kalau hanya mengandalkan polisi, mana mungkin semua pengendara tak tahu diri itu bisa teratasi. Entah masyarakat yang sudah semasa bodo itu dengan kondisi jalanan, atau ada rasa takut yang terbesit jika menghadang para pengendara yang brutal itu.

Kalau saya perhatikan, memang persoalan di jalan itu tak lagi sekedar kemacetan, tapi lebih dari pada itu. Saya melihat jalanan, terutama di Jakarta, benar-benar brutal, bar-bar, dan di luar akal sehat: RUWET. Hal ini yang selalu saya hadapi setiap pagi ketika berkendara, dan tentunya kalian pun mengalami hal yang sama.

Pernah suatu hari, baru-baru ini lebih tepatnya, saya melintas di Jalan Tegal Parang. Saat berbelok ke kiri tepat setelah Universitas Paramadina, saya dihadapi pada kemacetan. Saya kesal bukan karena macetnya, tapi kondisi trotoar di sebelah kiri saya dipenuhi motor yang melaju menuju arah sebaliknya. Saya geleng-geleng kepala melihat kondisi tersebut.

Yang membuat saya naik pitam, ada salah seorang wanita yang tengah berjalan di trotoar tersebut. Dari pakaiannya, ia adalah salah satu crew dari stasius televisi TRANS TV. Ia berjalan tenang meski was-was karena banyaknya motor yang lalu lalang. Tiba-tiba, ada motor yang melaju cukup kencang (untuk berkendara di trotoar) yang melintas di sisi kanan wanita tersebut dan melewati genangan sehingga celana dan sepatu wanita itu pun basah.

Tak ada kata maaf, bahkan menoleh pun tidak. Wanita berhijab itu sepertinya juga sudah tak tahu harus berbuat apa. Ia hanya melihat si pengendara motor dengan tatapan kesal dan tak percaya, seraya memegang bagian celananya yang basah. Dari belakangnya, tetap saja motor-motor lainya seliweran tak tahu diri. Apa yang saya lakukan? Saya hanya bisa meneriaki pengendara motor tersebut. Setiap pengendara yang lewat di trotoar, saya teriaki dan nasehati ketika memungkinkan. Entah apa yang ada di benak mereka, karena saya tidak tahu lagi harus apa. Saya tak mungkin parkir sembarangan dan menghadang mereka atau hal lainnya.

Selama perjalanan, saya berpikir, apa yang sebenarnya diperlukan kota besar—terutama Jakarta—untuk mengatasi kondisi jalan yang kian parah ini? Dan ini hasil pemikiran saya.

Kampanye Masal Dengan Anak
Saya ingat salah satu iklan kampanye anti rokok di Thailand. Pada tayangan tersebut, setiap anak meminta korek pada orang dewasa yang merokok. Mereka ingin meminjamnya untuk menyalakan rokok mereka. Para orang dewasa pun menasehati anak-anak itu dengan semua resiko merokok. Pada bagian akhir, anak tersebut memberikan kertas yang bertuliskan, “Anda sangat tahu resiko merokok dan peduli akan kesehatan saya. Mengapa Anda tak peduli pada kesehatan Anda?”


Doc. Tribunnews.com

Selain itu, aksi anak kecil di Semarang bernama Daffa Faros Oktoviarto yang sempat saya singgung di awal paragraf juga menjadi inspirasi luar biasa untuk menangani para pengendara tak bertanggung jawab tersebut. Ide saya, lakukan kampanye untuk melakukan penghadangan oleh anak kecil. Tetap dengan pengawasan tentunya, namun mereka bisa memiliki kekuatan untuk membuka mata para pengendara agar tak melakukan pelanggaran di jalan.

Palang Pintu Kereta Api
Saat itu saya sedang mengendarai motor di kawasan Mampang, Jakarta Selatan. Semua pengendara, baik motor, mobil, hingga angkutan umum, tak ada yang berhenti di belakang garis zebracross. Semua kendaraan memenuhi area penyeberangan tersebut, sehingga seorang wanita paruh baya yang ingin menyeberang mengalami kesulitan. Ia sibuk mencari celah dan justru diklakson karena ia belum selesai menyeberang saat lampu lalu lintas berubah menjadi hijau.

 
Doc. Shilla Dipo

Saya sempat memberikan lambaian tangan untuk meminta kerendahan hati para pengendara, hasilnya mereka ikut mengklakson saya karena tidak tancap gas. Saat beliau berhasil menyeberang, saya melaju dan berpikir, apa yang dapat membuat masyarakat tidak berhenti di area penyeberangan ketika lampu merah. Aha! Palang pintu kereta api mungkin menjadi solusinya. Sepertinya meningkatkan kesadaran masyarakat Jakarta itu sesulit mencari jarum di tumpukan jerami, deh—hampir tidak mungkin. Solusinya, mereka dipaksa untuk berhenti dengan menggunakan palang. Jadi, ketertiban tersebut harus dipaksa.

Pembatas tinggi
Tak hanya pengendara, pejalan kaki juga seringkali berjalan seolah memiliki 7 nyawa—atau bahkan 9. Waktu itu saya sedang melaju di kawasan Manggarai. Tepat di depan pasar rumput, terdapat jembatan penyeberangan yang sangat sepi karena jarang dipakai. Sementara di bawahnya, orang-orang menyeberang seenaknya. Bahkan, saya pernah melihat seorang perempuan lompat dari halte Trans Jakarta ke jalan raya untuk menyeberang ke sisi kiri jalan.


Doc. Kaskus.co.id


Solusinya, buat pembatas yang tinggi antara jalur kanan dan kiri. Jangan hanya dipisah oleh trotoar kecil saja. Selain itu, pembatas jalur umum dan busway pun harus dibuat tinggi agar tidak ada yang nekat keluar-masuk jalur yang tak seharusnya. Mungkin memang langkah ini masih kurang efektif, namun setidaknya mengurangi pelanggaran yang dilakukan oleh para pengguna jalan.

Besi Penahan di Trotoar
Kalau tidak salah di tanggal 14 April lalu, saya sempat terbelalak dengan aksi tercela dari salah satu pengendara taksi berwarna putih. Dengan enaknya, ia menyusul taksi yang saya tumpangi melalui trotoar di kiri jalan. Iya, TAKSI YANG MELAKUKANNYA WHICH IS MOBIL! Aduh, pusing kepala saya saat melihat kejadian itu. Kenapa sih, semua orang semakin lama kian egois dengan melakukan tindakan yang terbilang anarkis?


Doc. Indonesiaharusberubah.blogspot.com


Untuk itu, wilayah trotoar memang harus dikembalikan pada fungsinya dengan memberikan pembatas yang terbuat dari besi, melintang di atas trotoar. Hal ini sudah atau sempat diaplikasikan di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat. Sayangnya, masih kawasan tertentu yang menerapkan besi penghalang ini sehingga masih banyak orang yang seenaknye berkendara di atas trotoar. Jika diterapkan, memang pejalan kaki harus lebih berhati-hati, namun hal ini demi keselamatan semua pihak, bukan. Jangan lupa juga untuk membuat trotoar lebih tinggi agar motor atau mobil sulit naik ke atas trotoar. Namun, pertanyaan muncul tentu. Bagaimana dengan kaum disabilitas? Beri jalur khusus untuk mereka di atas trotoar agar tidak terkena besi penghalang. Bisa? Pasti!

Regulasi Khusus Untuk Transportasi Online
Memang, adanya layanan transportasi online sangat membantu kita, termasuk saya. Sayangnya, saya sudah hampir 2 kali menabrak ojek online lantaran mereka berhenti mendadak sambil memegang ponselnya di tangan kiri mereka. Sontak, saya marah, dong. Eh, dia lebih galak lagi, “Makanya pelan, saya lagi nerima orderan, nih!” Kalau tidak salah saya sempat mendengar kalimat tersebut. Saya teriak lagi, “Sinting!” sambil melaju. Duh, nggak ada waktu untuk berurusan dengan orang seperti itu, deh.
 
Doc. Dimasprakoso.com (ini memang bukan ojek online agar tak menyinggung pihak tertentu).
Mungkin enaknya, setiap driver diwajibkan memasang phone holder di motor sebelum beroperasi. Jangan lupa, gunakan handsfree untuk memudahkan mereka dalam mendapatkan arah dari aplikasi peta, dan juga menghubungi customer. Jika memang harus melakukan kontak langsung menggunakan ponsel, seperti mengetik alamat, sms, WhatsApp, dan sebagainya, menepilah terlebih dahulu. Regulasi dasar ini harus dipupuk bersama masyarakat dan pihak penyedia aplikasi harus lebih tegas pada mitra kerjanya ini. Setiap ada laporan, mitra alias driver, harus ditindak tegas. Ingat, jangan cuma bisnis, tapi bersama-sama melakukan perbaikan bagi kondisi negeri, terutama lalu lintas.

Sepertinya itu yang bisa saya sarankan untuk membuat kondisi lalu lintas menjadi lebih baik. Bila ada masukan tambahan, atau mungkin ajakan membuat sebuah kampanye, saya bersedia sekali untuk ambil andil. Boleh lho, dikontak ke email saya. Ditunggu!

Saya Shilla Dipo, ciao!

Sunday, April 17, 2016

Passion VS Money Part 4: Final

Hari ini saya nonton Jungle Book di Central Park, Jakarta Barat. Untung saja saya percaya dengan IMDB dibandingkan dengan berita burung dari orang-orang yang bilang kalau film ini nggak bagus. Nyatanya, mata saya justru berbinar sanking sukanya dengan Jungle Book. Mungkin karena saya sangat menyukai dunia binatang, ya. Apalagi ada Baloo si beruang yang lucu gendut, tukang makan, dan pemalas itu (sekilas mirip saya....hhh).

Anyway, daripada saya kasih spoiler berlebih bagi yang belum nonton, lebih baik saya melanjutkan tulisan tentang passion vs money. Saya sudah menuliskan ketiga inspirasi saya dan pasti jawabannya jelas kalau passion menjadi pemenangnya. Tapi yang repot itu bagaimana passion dan pendapatan bisa berjalan selaras, sejalan, dan seimbang, ya kan?

Cerita dari Nyimas, Febrian, dan Aprishi membuat saya sadar kalau ketiganya keluar dari kotaknya untuk berani berjuang dengan kebahagiaannya, memperjuangkan passion-nya. Selama membuat tulisan tersebut, saya pun berbincang dengan beberapa teman mengenai tema serupa. Hasil perbincangan saya dengan teman-teman, ada beberapa orang yang punya prinsip 'yang penting hidup tenang'. Mereka memilih pekerjaan berdasarkan gaji, jenjang karier, serta fasilitas dibandingkan dengan pekerjaan yang membuat dia senang. "Tuntutan hidup, shay!" ucap salah seorang teman yang tak perlu dijelaskan siapa namanya.


via GIPHY

Memang, gaji penting. Hari gini siapa sih, yang nggak butuh uang. Tapi bagi saya, melakukan hal yang kita sukai justru lebih menghasilkan banyak peluang. Tak hanya masalah uang, melainkan project, relasi, dan lain-lain. Contohnya, Febrian yang hobi jalan-jalan, justru memunyai kesempatan untuk tahu kondisi sosial, budaya, dan ekonomi di berbagai daerah. Peluang project baru pun muncul yaitu mengembangkan pendidikan. Untuk yang belum sempat membacanya, bisa lihat di sini.

Nyimas yang hobi jeprat-jepret tiba-tiba saja memiliki kesempatan untuk bertemu dengan para pengungsi Rohingya hingga ia memiliki peluang dan misi untuk membantu subjek fotonya. Tak hanya isu sosial, ia pun kini tengah mengangkat isu lingkungan--terutama kebakaran hutan--yang ia tangkap dengan lensanya. Boleh lho, untuk membaca cerita lengkapnya di sini.

Aprishi....wah, ia akhirnya bisa menemukan kembali bahwa kecintaannya pada yoga tak pernah luntur akibat keinginan besarnya menjadi aktivis anti bullying. Ia pun meninggalkan kantor untuk masuk ke studio yoga, menjadi guru, sambil tetap menjalankan misinya menghapus aksi bullying yang terutama terjadi di kalangan remaja. Cerita lengkapnya, bisa dibaca di sini.

Mereka bukan hanya sekedar bekerja, tapi lebih daripada itu. Ada nilai dan misi lebih daripada sekedar memperkaya diri. Saya yakin saat melakukan hal-hal yang mereka suka, timbul pemikiran, "apa yang bisa saya berikan lebih untuk banyak orang melalui apa yang saya lakukan." Jadi kekayaan, baik pengalaman dan juga penghasilan itu tidak hanya diperuntukkan pada diri sendiri, melainkan orang lain. Saya setuju, karena sebenarnya ada kebahagian sekaligus kebanggan tersendiri saat bisa memberi dan tak hanya menerima, bukan?

Bayangkan deh, saat bekerja tak sesuai passion. Hanya keluhan demi keluhan yang sering muncul dari bibir. Saat mengeluh, artinya kita merasa bahwa apa yang didapat kurang cukup. Akhirnya, kita hanya akan disibukkan pada apa yang belum diberikan kepada kita, alih-alih apa yang bisa kita berikan pada orang lain. Menjalankan apa yang tidak disukai hanya akan membuat kita menjadi buta dari rasa syukur. Tak hanya itu, kita jadi fokus untuk terus menambah kekayaan kita sendiri tanpa memikirkan bagaimana caranya berbagi kepuasan dan kebahagiaan dengan orang lain. Jangankan kebahagiaan dengan orang lain, kebahagiaan diri sendiri saja rasanya tak pernah tercukupi.


Doc. Resumeresultsonline.com


Kembali lagi ke tiga orang yang sangat inspiratif tersebut. Mereka menjalani hidup dengan tenang, bahagia, kebutuhan pribadi tercukupi--bukan berlebihan Mereka bahkan berusaha memenuhi kebutuhan orang lain karena sadar bahwa ada hal lain yang jauh lebih penting daripada menimbun kekayaan. Mungkin keuangan mereka tak pasti, kadang naik saat banyak project, kadang terjun bebas saat sedang sepi. Mereka tidak sekaya artis papan atas, tapi punya keinginan menjadi lebih berguna untuk banyak orang melebihi artis-artis tersebut. Itu lho, yang saya suka dengan orang-orang yang bekerja dengan passion.

Ok, mungkin tidak adil jika saya mewawancarai mereka di acara campaign. Ada nggak sih, bukti lain yang menunjukkan kalau bekerja berdasarkan passion akan menghasilkan hal yang lebih baik? Tentu ada. Namanya Tissa Aunila. Saya kenal sejak tahun 2013, waktu pertama kali kerja. Tepatnya, Tissa adalah narasumber pertama saya. Wah, keren banget dia.

Ia adalah pemilik dari salah satu resto cokelat, Pipiltin Cocoa. Saat ia menjelaskan tentang cokelat, terlihat banget kalau dia sesuka itu, dan secinta itu sama cokelat. "Siapa sih, yang nggak suka cokelat? Tapi sayangnya, banyak yang nggak tahu kalau cokelat enak itu ada di Indonesia. Karena itu, Pipiltin Cocoa ingin mengenalkan cokelat Indonesia ke masyarakat," ceritanya saat itu.

Wanita yang kini berambut pendek ini tengah membuka 2 store dan 1 factory. "Nantinya, aku mau pengunjung bisa berkeliling di factory tersebut untuk belajar tentang cokelat," ucapnya. Tak hanya di pabrik cokelatnya, Tissa pun mengedukasi masyarakat tentang proses pembuatan cokelat di store yang terdapat di bilangan Sarinah, Jakarta Pusat. Satu lagi aksi baik yang ia lakukan, yaitu membantu kesejahteraan para petani cokelat, serta memberikan mereka kebahagian dengan memberikan cokelat yang telah melalui proses di Pipiltin Cocoa.

"Ada rasa sedih dan kaget waktu mereka (petani cokelat) bilang bahwa mereka belum pernah mencicipi cokelat dari kebun mereka sendiri. Waktu itu aku sempat membawakannya dan mereka suka banget," kenang Tissa. Ia pun memiliki misi untuk mengedukasi para petani agar menghasilkan buah cokelat yang bagus, berkualitas, agar hasil akhirnya pun enak. See, ada hal lain yang menjadi misi dari setiap orang yang bekerja berdasarkan passion. Ya, lagi-lagi saya mengatakan hal ini.

Apa penjelasan saya sudah menjawab? Saya rasa belum. Untuk menyelaraskannya, dibutuhkan keinginan yang sangat kuat. Seperti yang Febrian dan Nyimas sampaikan, dedikasi dan konsistensi pada passion tersebut sangatlah penting. Jika masih butuh modal untuk menjalankan passion, maka bekerjalah untuk mengumpulkan modal agar suatu hari nanti passion ini akan terpenuhi. Coba deh, melihat bagaimana cara mengatur waktu untuk menjalankan pekerjaan tambahan (saya tak mau menyebutnya sampingan kali ini) meski kalian bekerja full time di GLITZMEDIA.CO.

Bagaimana dengan saya? Well, hal yang bisa saya pikirkan dalam 24 jam adalah menganalisis semua kejadian yang terjadi di dalam hidup. Saya seringkali mengkritisi, melihat satu kejadian dari berbagai sudut pandang, bermimpi, dan sebagainya. Agak sedikit sotoy alias sok tahu terkadang, sih. Tapi apapun yang terjadi, baik di diri saya maupun orang lain, akan saya analisis dengan diri sendiri. Mendiskusikannya dengan diri saya sendiri. Ditambah, saya suka sekali berbagi pikiran dengan orang lain melalui tulisan, walaupun berbincang langsung pun saya tak keberatan. Masalahnya, orang lain mungkin yang keberatan ketika saya bicara tanpa jeda. Haha.

Saat ini, saya mulai menjadikan hal tersebut tak hanya menguap begitu saja. Saya mencoba menulis dengan konsisten. Mungkin kalian bisa melihat dari aktivitas blog yang tiba-tiba saja melonjak. Konsistensi, kegigihan, serta dedikasi itu penting untuk meningkatkan passion ke tingkat yang lebih. Doakan saja supaya kali ini saya tidak menyerah. Untuk kalian, masukan dan kritikan sangat saya butuhkan saat ini agar apa yang saya kerjakan bisa menjadi lebih baik lagi.


via GIPHY

Jadi, apa sih passion kalian? Lebih baik temukan segera dan berjuang untuk mewujudkannya. Cobalah mencari pekerjaan yang membuat kalian bahagia. Sekarang, apa saja bisa kok, jadi peluang pekerjaan, asalkan kita konsisten dan berjuang mewujudkannya. Tentukan passion kamu, sekarang!

Saya Shilla Dipo, ciao!

Saturday, April 16, 2016

Passion VS Money Part 3: Aprishi Allita

What a great Saturday night that I had! Sedikit bercerita, saya hari ini datang ke wisuda adik dari Nindya--sahabat saya--di Yarsi. Usai dari sana, saya, Nindya, dan Yuda--sahabat saya juga--duduk-duduk di salah satu coffee shop di Jalan Patiunus. Banyak cerita, nostalgia masa kuliah, dan juga membicarakan hidup. Banyak hal baru, inspirasi, pandangan, dan opini tentang semua aspek hidup. Pulangnya, kami carpool karaoke dengan lagu-lagu Boyz II Men. Simple yet fun.

Sampai di rumah, saya langsung buka laptop untuk kembali melanjutkan tulisan mengenai Passion VS Money. And here I am, try to write it down. Ok, stop basa-basinya. Saya mau bercerita tentang wanita cantik yang punya jiwa sosial tinggi sekaligus keseimbangan tubuh dan jiwa yang baik, bernama Aprishi Allita. Saya nggak berlebihan kok, memberikannya julukan seperti itu karena Aprishi adalah seorang guru yoga bersertifikat sekaligus aktivis anti-bullying. Dulu, ia bekerja di salah satu perusahaan agency dan kemudian memutuskan untuk resign and simply do things that make her happy and balance. Now, let me introduce you with her through words.

Aprishi Allita

Doc. Shilla Dipo

Ini dia Aprishi Allita. Saat ia diperkenalkan di atas panggung ketika menjadi pembicara di campaign #FaceForwardID (baca part satu dan part dua), saya melihat sosok wanita yang tenang sekaligus bersahaja. Ketika mulai berbicara, kebahagiaan itu tersirat dari senyum dan tawanya yang hadir sesekali di sela tutur katanya. Kayaknya hidup Aprishi ini bahagia sekali. Ternyata rahasia di balik sikapnya yang seolah menjalani hidup dengan ringan adalah pilihannya untuk menjalani apa yang disukainya. Agh passion always win, doesn't it?

"Waktu SMA, aku pernah jadi volunteer di panti asuhan. Mereka cerita bagaimana mereka di bully saat bersekolah di sekolah umum. Hal itu membuat mereka nggak mau sekolah," cerita Aprishi. Dari kisah itu, ia tergerak untuk mendirikan gerakan untuk menghentikan aksi bullying, terutama di sekolah-sekolah. Perlahan, ia pun merambah ke blog untuk sharing informasi mengenai bullying. "Hal ini terus aku lakukan sampai akhirnya aku kerja," ucap Aprishi. 

Ia mengaku bahwa ketika bekerja, banyak korban bullying yang terus menghubunginya dan minta pertolongan. "Hampir setiap hari ada saja yang e-mail aku bilang, 'kak tolong...kakk tolong'. Lama kelamaan hal itu menggerakkan hati aku and I think I should quit from my job in agency company," ceritanya saat ngobrol dengan saya usai acara. "Karena aku jalaninnya sendiri, jadi semua biaya operasional dan lainnya aku tanggung sendiri dan kayaknya nggak bisa kalau cuma fokus menjadi aktivis. Akhirnya aku mikir, gimana caranya supaya kampanye anti bullying ini bisa jalan dan aku tetap berpenghasilan," kenangnya. Ia pun akhirnya mencari tahu apa hal yang paling disukainya. "Aku suka banget yoga. Aku bisa mikirin yoga selama 24 jam non-stop. Jadi aku pikir, kenapa nggak menjadi guru yoga aja. Aku pun memutuskan untuk ambil kursus yoga supaya bersertifikat dan memutuskan untuk menajadi pengajar (yoga)," jelasnya. 

Doc. Instagram.com/aprishiallita


Dengan menjadi guru yoga, ia pun cukup bekerja dengan waktu singkat, namun tetap memiliki penghasilan yang cukup untuk menyokong kebutuhannya, termasuk menjalankan aksi sosialnya. "Saat ini semua berjalan baik dan campaign aku pun sekarang sudah ada website yang lebih ok dari sebelumnya. Bisa dibuka di www.stopbullying.co.id," kata Aprishi dengan senyumnya yang tetap terlihat tenang namun antusias.

Serunya, Aprishi bilang kepada saya kalau ia tak pernah stres saat menjalani profesinya sebagai guru yoga. Duh, enak banget berpenghasilan tapi nggak pernah merasa stres ya. "Dulu, kalau client membatalkan janji tuh rasanya kesal banget, Tapi sekarang, kalau aku datang ke studio dan ternyata nggak ada orang, pikiranku justru positif saja dan nggak jadi beban sama sekali," paparnya. Benar kan, ketika semua jalan dengan passion maka kita lebih mewajari banyak hal. Hidup jadi tak terasa berat.

Karena sekarang Aprishi punya lebih banyak waktu untuk memikirkan adik-adik korban bullying, ia pun punya rencana untuk lebih banyak membantu mereka dengan memberikan motivasi positif agar mereka tidak merasa minder. Ia pun sedang mencari partner untuk membantunya membuat aplikasi agar para korban bullying bisa melapor dengan lebih cepat. "Sekarang sih, masih fokus di website karena baru saja launch di awal 2016 ini. Nantinya mau banget untuk bikin aplikasi, tapi karena membuatnya itu tidak mudah, aku pun sedang cari partner yang pas. Kalau ada yang mau, boleh lho," ucapnya seraya memamerkan deret gigi putihnya. Nah, siapa yang bisa bikin aplikasi dan jiwa sosial? Coba deh, untuk menawarkan diri menjadi partner Aprishi. Jangan sibuk investasi untuk hidup di dunia saja, investasi untuk akhiratnya kapan? Mumpun ada tawaran untuk melakukan hal baik, kan? Hehe.

Hal yang menjadi penutup dari Aprishi adalah sebuah quote yang menyentuh sekaligus menginspirasi tentunya. 

"Think positive and the positive things will come." - Aprishi Allita.

Saya Shilla Dipo, ciao!



Friday, April 15, 2016

Passion VS Money Part 2: Febrian

I apologize for being late to post the second part of this article. I was so tired last night, karena sebelumnya saya hanya tidur 3 jam dan berenang di pagi hari. Setelahnya, saya lanjut liputan yang membuat tenaga menjadi terkuras. Ya, it should't be an excuse but I really need a rest. Istirahat penting, kan?

Anyway, lanjut pada rangkaian artikel dalam tema Passion VS Money. Kali ini, saya akan membahas salah seorang traveler yang pernah mencoba berbagai profesi, mulai dari pekerja, penyanyi, hingga kini menjadi travel blogger. Ia adalah Febrian. Ada yang mengenalnya? Dulu, lagunya sempat diputar di radio-radio. Saya masih ingat jelas bahwa single-nya yang berjudul Cinta Diam-Diam pernah menjadi lagu galau saya ketika masih berkuliah di Jatinangor. Daripada saya malah melanjutkan curhat saya, lebih baik saya berbagi inspirasi yang didapat saat berbincang dengan pria berwajah oriental ini.

Febrian



Doc. Shilla Dipo

First impression, Febrian terlihat humble, ceria, dan senyumnya manis (lol--tapi benar, kan?). Selama talkshow (baca part 1 di sini), ia banyak senyum sambil berkali-kali mengatakan, "Kita harus percaya diri!" Dari situ, saya bisa menilai bahwa keyakinan menjadi dasar utama langkah Febrian dalam memilih profesinya saat ini. Hasil analisis sok tahu saya sih, ia pernah ada di titik tidak yakin dalam menentukan profesi sebagai travel blogger.

Bagi saya, hidup dia ini enak banget. Bayangkan, ia mulai serius traveling sejak 2 tahun lalu, dan menceritakan perjalanannya melalu situs pribadinya, Ceritafebrian.com. Dari kegiatan tersebut, rupanya Febrian mendapat tanggapan positif dengan ajakan untuk membawakan program YouTube, Jurnal Indonesia Kaya. "Dari situ saya jadi tahu kalau saat berlibur, tak hanya pemandangan yang menjadi fokus utama, tapi juga kearifan lokal, kebudayaan, makanan, adat istiadat, hingga kondisi sosial di destinasi tersebut," ceritanya antusias. 

Apa misinya dalam menjalan profesi yang didasari oleh passion ini? "Saya pengin banget pendidikan di Indonesia ini merata ke seluruh pelosok," katanya bersemangat, sementara saya mengangguk-angguk setuju. "Waktu itu saya lagi berenang di salah satu pantai di Kepulauan Moyo, Nusa Tenggara Barat. Setelah main sama mereka, saya sempatkan ngobrol dan menanyakan cita-cita mereka. Ada yang jawab mau jadi nelayan, petani, dan yang paling tinggi adalah pegawai Alf*mart. Memang sih, nggak ada yang salah tapi menurut saya, seharusnya mereka bisa punya cita-cita yang lebih tinggi. Ini disebabkan ketidaktahuan mereka untuk menjadi apa nantinya. Kalau saja anak-anak ini dapat pendidikan yang bagus, pasti cita-cita mereka akan tinggi," lanjutnya, membuat saya mengangguk semakin cepat, setuju banget sama apa yang Febrian sampaikan. "Apalagi mereka banyak makan hasil laut dan juga sayur. Mereka nggak kenal junk food. Seharusnya kualitas otak mereka bisa lebih pintar daripada anak-anak di kota besar," tutupnya, seiring dengan kepala saya yang lepas karena mengangguk terus (kiddin').

Doc. Instagram/_febrian


Jadi jelas, misi Febrian adalah menginformasikan melalui cerita dan tulisan kepada masyarakat luas tentang pariwisata, termasuk kondisi pendidikan di seluruh Indonesia agar banyak kesadaran dari masyarakat untuk membantu meningkatkan kualitas pendidikan. Selain itu, obrolan santai bersama para anak-anak di berbagai daerah juga menjadi cara Febrian untuk memberikan harapan bahwa cita-cita sudah selayaknya digantung setinggi langit agar mereka semakin semangat dalam mencapainya.

Meskipun ia sempat 'protes' dengan kurangnya pemerataan pendidikan di Indonesia, Febrian mengatakan bahwa ia senang karena sempat bertemu dengan Kapal Kalabia. Sudah familiar dengan nama ini? Kapal Kalabia adalah salah satu fasilitas dari Yayasan Kalabia Indonesia (YaKIN) yang memiliki misi untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. "Kapal Kalabia ini berlayar ke berbagai daerah kecil (terutama Papua) untuk mengajarkan pentingnya ekosistem laut dan bahaya sampah. Fasilitas di dalam kapal juga bagus, ada perpustakaan hingga ruang mengajar. Kegiatan semacam ini nih, yang perlu terus dikembangkan di Indonesia," papar Febrian. Ia pun melanjutkan bahwa saat ini ia telah memiliki contact person dari Yayasan Kalabia Indonesia. "Saya sudah punya kontak mereka (Yayasan Kalibia Indonesia) dan sekarang lagi giat untuk cari pihak yang mau menjadi sponsor kegiatan mereka. Soalnya apa yang mereka lakukan ini sudah bagus banget. Sayang kan, kalau tidak maksimal karena pendanaan yang terbatas. Doain saja semuanya lancar," tuturnya.

Hal yang saya petik dari apa yang dilakukan Febrian yang mengikuti passion-nya adalah, dengan melakukan apa yang kita cintai, selalu ada hal baik lainnya yang akan mengiringi. Awalnya ia hanya mengikuti kata hanti untuk traveling, dilanjutkan dengan timbulnya misi pendidikan yang menjadi cita-citanya. Sementara bagi yang bekerja tidak sesuai dengan passion-nya, jangankan memikirkan hal seperti itu, tugas yang diberikan atasan saja selalu dikeluhkan. Ya, kan?

Okay, sampai jumpa di bagian ketiga dari tulisan ini. Mungkin memang tulisan ini kayak nggak lengkap, alias menggantung. Namun, semua ini akan lebih jelas if you stay connected with me, at least until the last part of these articles--which is Part 4.

"Apapun sekarang bisa jadi lahan pekerjaan, asalkan kita mau serius, berdedikasi (dengan apa yang dijalankan), dan konsisten." - Febrian

Saya Shilla Dipo, ciao!

Wednesday, April 13, 2016

Passion VS Money Part 1: Nyimas Laula

Sebenarnya saya lelah dan sudah mengantuk malam ini. Tapi konsistensi saya untuk melanjutkan untai kata masih lebih besar ketimbang kantuk yang meraja. Hal ini sebenarnya ada kaitannya dengan apa yang ingin saya bagi di blog ini. Sesuai dengan judul di atas, saya mencoba untuk menjawab pertanyaan: Benarkah passion perlu diperjuangkan dibandingkan sekedar pendapatan?

Sebelum saya menjawabnya, seperti biasa, tentu ada latar belakang mengapa tema ini yang diambil di tulisan malam ini. Jadi, tanggal 12 April kemarin saya dapat tugas untuk meliput sebuah peluncuran kampanye dari Clinique, namanya #FaceForwardID. Acara di Mall Kota Kasablanka itu mengundang 3 orang dari latar belakang yang berbeda. Ada Nyimas Laula, Febrian, serta Aprishi Allita. Awalnya talkshow berjalan biasa-biasa saja, apalagi banyak rekan wartawan yang sepertinya sibuk sendiri dengan gadget masing-masing. Kebetulan, saya selalu senang mendengar cerita hidup orang. Karena itu, atensi saya fokus pada kisah ketiganya.

Intermezzo sedikit, memang intro tulisan ini cukup panjang karena saya perlu menceritakan ketiga sosok inspiratif ini sebelum masuk pada jawaban saya. Karena itu, saya membaginya menjadi empat bagian agar kalian bisa memandang inspirasi ini seperti saya melihatnya. Inspiratif banget! Sayang kan, kalau terpotong?

Lanjut, usai acara talkshow, saya menyempatkan diri untuk menyapa dan bincang langsung dengan ketiga narasumber yang hadir. Pada bagian pertama ini, saya akan membahas Nyimas Laula.

Nyimas Laula


Doc. Shilla Dipo

Senyumnya penuh semangat, percaya diri, serta auranya riang, membuat sosok Nyimas seolah membawa enerji positif bagi orang-orang di sekelilingnya--termasuk saya di kesempatan tersebut. Ia adalah wanita berusia 23 tahun--yup, younger than me--yang dapat dikatakan sukses dalam dunia fotografi, khususnya fotografi jurnalistik. Di usianya yang masih terbilang muda, ia sudah menghasilkan foto-foto yang spektakuler dengan menjadikan lingkungan serta kemanusiaan sebagai isu utamanya. Salah satu cerita yang membuat mata saya membelalak adalah ketika ia pergi ke Aceh untuk mengabadikan para pengungsi Rohinya yang berlabuh di kota Serambi Mekah tersebut. Ia bercerita bahwa dirinya sempat mengikuti salah seorang pengungsi bernama Zahida. "Pada suatu hari, saya lihat Zahida sedang melamun melihat langit-langit melalui jendela dengan tatapan kosong," kenangnya. Momen ini pun diabadikan dengan kameranya. Hasilnya, foto tersebut mendapat banyak pujian dan tersebar ke banyak media.


Doc. http://nyimaslaula.com

"Mata kosongnya seolah menggambarkan deritanya selama berbulan-bulan terombang-ambing di laut lepas. Ia bertahan tanpa persediaan makanan yang cukup hingga bisa sampai ke Aceh. Wajahnya seperti mengenang, bersyukur, sedih, sekaligus tidak menyangka atas apa yang terjadi pada hidupnya. Menyentuh sekali," cerita Nyimas.

Meskipun foto ini sangat diapresiasi, ia mengaku belum dapat mewujudkan apa yang ia cita-citakan. "Saya berharap subjek foto saya mendapatkan bantuan dengan aksi nyata. Saya coba menyampaikan kondisi yang terjadi melalui foto dan berharap dapat membantu subjek saya untuk kehidupan yang lebih baik," papar wanita yang banyak mendapat inspirasi dari fotografer internasional yang berhasil mengumpulkan dana untuk membantu subjek fotonya: potret orang miskin Indonesia pasca Orde Baru.

"Saya sekarang fokus ke masalah lingkungan dan sosial. Saya pengin banget apa yang saya foto tidak hanya mendapat acungan jempol tapi juga aksi nyata untuk menuntaskan permasalahan sosial dan lingkungan yang ada. Tidak mudah, tapi konsistensi dalam pencapaian misi itu penting banget," kata pemilik akun Instagram @nyimaslaula ini.

Selain sibuk dengan pencapaian misinya, lulusan jurusan Product Design ini sibuk menjadi kontributor fotografer, salah satunya di Everyday In Haze (@everydayinhaze).

Oh ya, ia pun memiliki quote yang sudah saya tanamkan dalam-dalam:

"Never stop learning. Karena ketika sudah berhenti, tak ada lagi yang ingin dicapai sehingga proses menjadi lebih baik pun akan ikut terhenti." - Nyimas Laula

Saya Shilla Dipo, ciao!

Tuesday, April 12, 2016

Ini Lho, Rasanya Tidak Menyentuh Gadget!

Baru saja saya menilik kembali lembar virtual di blog ini. Ya ampun, lama banget meninggalkan blog ini. Mungkin saya belum punya pembaca setia, tapi saya berharap untuk memilikinya suatu hari nanti. Mulai sekarang, saya mau unggah tulisan setiap hari--kalau bisa--di sini, ah. Semoga saja ada pembaca setia, ya.

Kali ini saya nggak mau berpuisi atau curhat ini itu. Saya mau berbagi pengalaman, tapi sebelumnya ada sedikit penjelasan dulu tentang ke mana saja saya selama menghilang ini. Pertama, saya sudah meninggalkan majalah GADIS dan pindah ke sebuah portal media online. Namanya, GLITZMEDIA.CO. Saya sudah pernah cerita belum, sih? Anyway, di sini saya menulis feature articles dan kini sudah mulai menjadi editor. Senang rasanya mengetahui ada pergerakan di karier saya. Haha..

Ok, sekarang fokus ke judul tulisan. Ya, seperti yang ditulis di atas, saya akhirnya merasakan hidup tanpa gadget. Awalnya, saya menulis artikel di GLITZMEDIA.co tentang alasan pentingnya gadget detox dan cara melakukan gadget detox. Lalu pada hari Sabtu lalu, saya mencoba melakukannya. Tidak seperti yang tertulis di tulisan saya, sih, tapi saya mencoba tidak memegang gadget dalam waktu lebih dari 18 jam, alias hampir seharian. Dan ini rasanya...

via GIPHY


Saya mengawali hari dengan mandi seperti biasanya lalu janjian dengan Fina. Saat itu saya masih memegang gadget alias smartphone untuk bertemu dengannya. Setelah bertemu dengannya, saya pergi ke apartment salah seorang teman bernama Tamo. Saat itu lah saya meletakkan handphone tanpa melihatnya sama sekali. Saya jengah dengan layar ponsel, Saya ingin sesekali menikmati hidup secara nyata. Hasilnya, lebih banyak bahan obrolan yang terjadi ditambah kami memutuskan untuk ke Pasar Minggu dan belanja ayam, kangkung, tempe, dan lain-lain. Setelahnya kami memasak dan rasanya saya benar-benar merasa hidup tanpa memegang gadget.

"Aku akan lakuin ini lebih sering lagi!" ucap saya ke Fina, meskipun dia diam saja. Mungkin karena dia tahu saya agak angot-angotan saat memulai sesuatu. Tapi sepertinya hal itu akan saya lakukan kok, karena ini manfaat yang saya dapat:

Lebih Aware
Saya lebih memerhatikan keadaan sekitar. Melihat tawa sahabat-sahabat dengan lebih jelas, ekspresi bingung atau kesal di wajah teman-teman, dan sebagainya. Saya lebih melihat kejadian-kejadian di depan mata dibandingkan di layar ponsel.

Jiwa Sosial Meningkat
Kalau saja saat sampai di apart saya berkutat dengan gadget, mungkin saya jadi nggak membantu Tamo memasak. Nyatanya, saya langsung menanyakan apa yang bisa saya bantu. Saya petik kangkung, mencoba ngulek (walaupun nggak bisa), rutin melihat penggorengan karena nggak mau ayamnya gosong, dan bahkan menyapu. Keinginan untuk bersosialisasi menjadi lebih besar. Saya nggak peduli teman-teman di Path makan steak atau sushi. Saya mau masak ayam goreng kalasan, tempe goreng tepung, dan nyambel.

Tidak Cepat Lelah
Mungkin sebenarnya mata ini lelah melihat gadget terus menerus. Akibatnya, saya sering merasa pusing, mengantuk, lesu, dan mata perih. Tapi dengan mengalihkan pandangan pada kehidupan, saya jadi semangat dan lebih banyak bergerak. Bagus untuk metabolisme supaya tidak makin gendut, kan?

Bersyukur
Entah hanya saya atau kalian pun merasakan hal yang sama. Saat melihat teman-teman pergi ke sana ke sini, kadang saya suka iri. "Ih enak juga ya, liburan ke Aussie, jadi mau.... enak juga ya makan di Aeon, tapi jauh. Ih lucu deh ini itu..." dan seterusnya. Padahal saat saya berhenti kepo dengan media sosial, saya jadi lebih bersyukur dan menikmati momen yang sedang terjadi pada hidup saya, bukan orang lain.

Coba deh, lakukan gadget detox. Bagusnya sih, lakukan secara konsisten dan ikuti arahan yang saya tulis di GLITZMEDIA.CO. Mungkin satu dua hari tidak akan terasa. Jadi, lakukan lebih sering dan konsisten ya.

Remember, YOLO so live your life by enjoy the moment....the real moment. Feel it and sometimes it isn't necessary to share it on social media. Just enjoy it by yourself and share with the people around you.

Saya Shilla Dipo, ciao!