Sunday, April 17, 2016

Passion VS Money Part 4: Final

Hari ini saya nonton Jungle Book di Central Park, Jakarta Barat. Untung saja saya percaya dengan IMDB dibandingkan dengan berita burung dari orang-orang yang bilang kalau film ini nggak bagus. Nyatanya, mata saya justru berbinar sanking sukanya dengan Jungle Book. Mungkin karena saya sangat menyukai dunia binatang, ya. Apalagi ada Baloo si beruang yang lucu gendut, tukang makan, dan pemalas itu (sekilas mirip saya....hhh).

Anyway, daripada saya kasih spoiler berlebih bagi yang belum nonton, lebih baik saya melanjutkan tulisan tentang passion vs money. Saya sudah menuliskan ketiga inspirasi saya dan pasti jawabannya jelas kalau passion menjadi pemenangnya. Tapi yang repot itu bagaimana passion dan pendapatan bisa berjalan selaras, sejalan, dan seimbang, ya kan?

Cerita dari Nyimas, Febrian, dan Aprishi membuat saya sadar kalau ketiganya keluar dari kotaknya untuk berani berjuang dengan kebahagiaannya, memperjuangkan passion-nya. Selama membuat tulisan tersebut, saya pun berbincang dengan beberapa teman mengenai tema serupa. Hasil perbincangan saya dengan teman-teman, ada beberapa orang yang punya prinsip 'yang penting hidup tenang'. Mereka memilih pekerjaan berdasarkan gaji, jenjang karier, serta fasilitas dibandingkan dengan pekerjaan yang membuat dia senang. "Tuntutan hidup, shay!" ucap salah seorang teman yang tak perlu dijelaskan siapa namanya.


via GIPHY

Memang, gaji penting. Hari gini siapa sih, yang nggak butuh uang. Tapi bagi saya, melakukan hal yang kita sukai justru lebih menghasilkan banyak peluang. Tak hanya masalah uang, melainkan project, relasi, dan lain-lain. Contohnya, Febrian yang hobi jalan-jalan, justru memunyai kesempatan untuk tahu kondisi sosial, budaya, dan ekonomi di berbagai daerah. Peluang project baru pun muncul yaitu mengembangkan pendidikan. Untuk yang belum sempat membacanya, bisa lihat di sini.

Nyimas yang hobi jeprat-jepret tiba-tiba saja memiliki kesempatan untuk bertemu dengan para pengungsi Rohingya hingga ia memiliki peluang dan misi untuk membantu subjek fotonya. Tak hanya isu sosial, ia pun kini tengah mengangkat isu lingkungan--terutama kebakaran hutan--yang ia tangkap dengan lensanya. Boleh lho, untuk membaca cerita lengkapnya di sini.

Aprishi....wah, ia akhirnya bisa menemukan kembali bahwa kecintaannya pada yoga tak pernah luntur akibat keinginan besarnya menjadi aktivis anti bullying. Ia pun meninggalkan kantor untuk masuk ke studio yoga, menjadi guru, sambil tetap menjalankan misinya menghapus aksi bullying yang terutama terjadi di kalangan remaja. Cerita lengkapnya, bisa dibaca di sini.

Mereka bukan hanya sekedar bekerja, tapi lebih daripada itu. Ada nilai dan misi lebih daripada sekedar memperkaya diri. Saya yakin saat melakukan hal-hal yang mereka suka, timbul pemikiran, "apa yang bisa saya berikan lebih untuk banyak orang melalui apa yang saya lakukan." Jadi kekayaan, baik pengalaman dan juga penghasilan itu tidak hanya diperuntukkan pada diri sendiri, melainkan orang lain. Saya setuju, karena sebenarnya ada kebahagian sekaligus kebanggan tersendiri saat bisa memberi dan tak hanya menerima, bukan?

Bayangkan deh, saat bekerja tak sesuai passion. Hanya keluhan demi keluhan yang sering muncul dari bibir. Saat mengeluh, artinya kita merasa bahwa apa yang didapat kurang cukup. Akhirnya, kita hanya akan disibukkan pada apa yang belum diberikan kepada kita, alih-alih apa yang bisa kita berikan pada orang lain. Menjalankan apa yang tidak disukai hanya akan membuat kita menjadi buta dari rasa syukur. Tak hanya itu, kita jadi fokus untuk terus menambah kekayaan kita sendiri tanpa memikirkan bagaimana caranya berbagi kepuasan dan kebahagiaan dengan orang lain. Jangankan kebahagiaan dengan orang lain, kebahagiaan diri sendiri saja rasanya tak pernah tercukupi.


Doc. Resumeresultsonline.com


Kembali lagi ke tiga orang yang sangat inspiratif tersebut. Mereka menjalani hidup dengan tenang, bahagia, kebutuhan pribadi tercukupi--bukan berlebihan Mereka bahkan berusaha memenuhi kebutuhan orang lain karena sadar bahwa ada hal lain yang jauh lebih penting daripada menimbun kekayaan. Mungkin keuangan mereka tak pasti, kadang naik saat banyak project, kadang terjun bebas saat sedang sepi. Mereka tidak sekaya artis papan atas, tapi punya keinginan menjadi lebih berguna untuk banyak orang melebihi artis-artis tersebut. Itu lho, yang saya suka dengan orang-orang yang bekerja dengan passion.

Ok, mungkin tidak adil jika saya mewawancarai mereka di acara campaign. Ada nggak sih, bukti lain yang menunjukkan kalau bekerja berdasarkan passion akan menghasilkan hal yang lebih baik? Tentu ada. Namanya Tissa Aunila. Saya kenal sejak tahun 2013, waktu pertama kali kerja. Tepatnya, Tissa adalah narasumber pertama saya. Wah, keren banget dia.

Ia adalah pemilik dari salah satu resto cokelat, Pipiltin Cocoa. Saat ia menjelaskan tentang cokelat, terlihat banget kalau dia sesuka itu, dan secinta itu sama cokelat. "Siapa sih, yang nggak suka cokelat? Tapi sayangnya, banyak yang nggak tahu kalau cokelat enak itu ada di Indonesia. Karena itu, Pipiltin Cocoa ingin mengenalkan cokelat Indonesia ke masyarakat," ceritanya saat itu.

Wanita yang kini berambut pendek ini tengah membuka 2 store dan 1 factory. "Nantinya, aku mau pengunjung bisa berkeliling di factory tersebut untuk belajar tentang cokelat," ucapnya. Tak hanya di pabrik cokelatnya, Tissa pun mengedukasi masyarakat tentang proses pembuatan cokelat di store yang terdapat di bilangan Sarinah, Jakarta Pusat. Satu lagi aksi baik yang ia lakukan, yaitu membantu kesejahteraan para petani cokelat, serta memberikan mereka kebahagian dengan memberikan cokelat yang telah melalui proses di Pipiltin Cocoa.

"Ada rasa sedih dan kaget waktu mereka (petani cokelat) bilang bahwa mereka belum pernah mencicipi cokelat dari kebun mereka sendiri. Waktu itu aku sempat membawakannya dan mereka suka banget," kenang Tissa. Ia pun memiliki misi untuk mengedukasi para petani agar menghasilkan buah cokelat yang bagus, berkualitas, agar hasil akhirnya pun enak. See, ada hal lain yang menjadi misi dari setiap orang yang bekerja berdasarkan passion. Ya, lagi-lagi saya mengatakan hal ini.

Apa penjelasan saya sudah menjawab? Saya rasa belum. Untuk menyelaraskannya, dibutuhkan keinginan yang sangat kuat. Seperti yang Febrian dan Nyimas sampaikan, dedikasi dan konsistensi pada passion tersebut sangatlah penting. Jika masih butuh modal untuk menjalankan passion, maka bekerjalah untuk mengumpulkan modal agar suatu hari nanti passion ini akan terpenuhi. Coba deh, melihat bagaimana cara mengatur waktu untuk menjalankan pekerjaan tambahan (saya tak mau menyebutnya sampingan kali ini) meski kalian bekerja full time di GLITZMEDIA.CO.

Bagaimana dengan saya? Well, hal yang bisa saya pikirkan dalam 24 jam adalah menganalisis semua kejadian yang terjadi di dalam hidup. Saya seringkali mengkritisi, melihat satu kejadian dari berbagai sudut pandang, bermimpi, dan sebagainya. Agak sedikit sotoy alias sok tahu terkadang, sih. Tapi apapun yang terjadi, baik di diri saya maupun orang lain, akan saya analisis dengan diri sendiri. Mendiskusikannya dengan diri saya sendiri. Ditambah, saya suka sekali berbagi pikiran dengan orang lain melalui tulisan, walaupun berbincang langsung pun saya tak keberatan. Masalahnya, orang lain mungkin yang keberatan ketika saya bicara tanpa jeda. Haha.

Saat ini, saya mulai menjadikan hal tersebut tak hanya menguap begitu saja. Saya mencoba menulis dengan konsisten. Mungkin kalian bisa melihat dari aktivitas blog yang tiba-tiba saja melonjak. Konsistensi, kegigihan, serta dedikasi itu penting untuk meningkatkan passion ke tingkat yang lebih. Doakan saja supaya kali ini saya tidak menyerah. Untuk kalian, masukan dan kritikan sangat saya butuhkan saat ini agar apa yang saya kerjakan bisa menjadi lebih baik lagi.


via GIPHY

Jadi, apa sih passion kalian? Lebih baik temukan segera dan berjuang untuk mewujudkannya. Cobalah mencari pekerjaan yang membuat kalian bahagia. Sekarang, apa saja bisa kok, jadi peluang pekerjaan, asalkan kita konsisten dan berjuang mewujudkannya. Tentukan passion kamu, sekarang!

Saya Shilla Dipo, ciao!

No comments:

Post a Comment