Thursday, April 21, 2016

Mengartikan Emansipasi Yang Berarti Menghilangkan Diskriminasi

Hari ini saya merasa mencium udara kebebasan bagi perempuan. Ada rasa syukur, bangga, sekaligus senang dilahirkan sebagai kaum hawa. Alhamdulillah, Allah menakdirkan saya sebagai perempuan. Tentu hal ini berkaitan dengan Hari Kartini, di mana Indonesia tak hanya merayakan ulang tahun perempuan kelahiran Jepara ini namun juga emansipasi wanita Indonesia.

Emansipasi. Satu kata yang mencerminkan kebebasan dalam berekspresi dan berkarya dalam kesetaraan. Membongkar belenggu diskriminasi yang dulu dirsakan oleh kaum perempuan. Lalu, bagaimana saya mengartikan emansipasi? Bagi saya, emansipasi wanita adalah bentuk penyetaraan antara perempuan dengan laki-laki. Sebatas itukah? Tentu tidak.

Mengutip dari Teti, Co-Founder Kredibilitas (sebuah aplikasi yang memudahkan kaum disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan formal), "Emansipasi itu adalah penyetaraan, bukan pertarungan antara laki-laki dan perempuan." Awalnya, saya merasa bahwa hal tersebut umum diketahui, namun fakta berkata lain. Banyak perempuan yang ingin dilihat lebih ketimbang laki-laki. Mereka merasa bahwa "perempuan itu lebih lembut", "perempuan itu lebih pintar", "perempuan itu lebih bersih", dan sebagainya. Padahal jika emansipasi diartikan sebagai kesetaraan, bukankah seharusnya laki-laki dan perempuan sama-sama dipandang sebagai manusia, tanpa klasifikasi gender?

Mengeneralisasikan "perempuan itu A, B, C," justru menurut saya adalah bentuk dari diskriminasi. Bagi saya, penyetaraan bukanlah membuat perempuan seolah menjadi lebih daripada laki-laki, namun mendapatkan kesempatan, perlakuan, serta kesetaraan yang sama dengan laki-laki. Jangan sampai emansipasi justru dijadikan alat bagi perempuan untuk mendapatkan apa yang ia mau, lalu kemudian menolak kesetaraan ketika terjadi hal-hal yang merugikannya. Maksudnya?

Saya memiliki seorang teman yang tak mau saya sebutkan namanya. Untuk menyamarkannya sekaligus memudahkan penulisan, sebut saja namanya Rilla--karena Mawar sudah terlalu mainstream untuk menjadi nama samaran. Lanjut, Rilla ini selalu merasa bahwa dirinya bisa menyaingi laki-laki dalam berbagai hal, mulai dari cara kerja, hingga pola pikir. Ia pun sangat benci ketika perempuan seolah direndahkan oleh kaum Adam.

Lucunya, ketika ia diminta untuk bergantian menyetir kendaraan misalnya, ia akan menjawab, "yah, lo kan cowok. Lo dong, yang nyetir. Masa laki-laki disetirin sama perempuan." Pernyataan tersebut menurut saya, justru mendiskrimiasikan dirinya sebagai perempuan, bukan? Hal ini masih banyak terjadi di luar sana, saya yakin sekali.

Menurut pandangan saya, emansipasi yang diperjuangkan Kartini merupakan salah satu cara agar perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan dan kesetaraan, bukan untuk membuat wanita berkuasa--menggunakan kata emansipasi untuk mendapat peluang dan kesempatan lebih, namun menolaknya ketika diminta melakukan yang mereka anggap sebagai 'pekerjaan laki-laki'. Seharusnya, tak ada lagi pekerjaan atau kegiatan yang diidentikan pada sebuah gender. Semua kembali kepada masing-masing, "manusia seperti apakah saya".

"Perempuan itu lembut", "perempuan itu bersih", selayaknya diganti dengan "Manusia itu lembut", "manusia itu bersih". Bukankah kebersihan, kelembutan, perhatian, memang selayaknya menjadi sifat manusia yang dibutuhkan dan bukan hanya milik perempuan? Misalnya, di dalam sebuah bis yang penuh, terdapapat wanita berumur lebih dari 60 tahun. Banyak yang melihat bahwa seharusnya, laki-laki memiliki inisiatif lebih dulu untuk memberinya tempat duduk. Bagi saya, siapapun yang lebih muda dan masih kuat untuk berdiri, berikanlah kursi tersebut pada wanita paruh baya itu. Ya, kan? Jangan sampai, diskriminasi justru dirasakan oleh pria.

Saya jadi teringat, sebuah video YouTube yang menunjukkan tentang reaksi banyak orang dalam dua situasi berbeda: pria melakukan kekerasan pada wanita dan wanita melakukan kekerasan pada pria. Hasilnya, saat pria yang melakukan kekerasan pada wanita, semua orang langsung datang dan menegur pria tersebut. Tak hanya satu orang, melainkan banyak orang. Sebaliknya, saat wanita yang melakukan kekerasan pada pria, masyarakat hanya menonton, bahkan menertawai sang pria.

Berdasarkan data Center for Disease Control and Prevention tahun 2010, jumlah pria yang mengalami kekerasan adalah 5.365.000, di mana angka ini lebih tinggi ketimbang kasus yang menimpa wanita, yaitu sebanyak 4.741.000. Hal ini menunjukkan jika masyarakat pun--tak hanya di Indonesia--masih belum dapat mengartikan penyetaraan tersebut dalam segala aspek. Inikah yang dinamakan emansipasi?

Sebagai perempuan, kita perlu menekankan bahwa tugas dalam mengartikan emansipasi ini masih banyak. Kesetaraan tetap perlu dijaga agar tak ada persaingan dan pertarungan antara pria dan wanita. Ingat, Kartini tidak memerjuangkan kesetaraan untuk membuat wanita menjadi sombong dengan segala kemudahan atas penyetaraan gender, melainkan untuk menjadi perempuan yang sesungguhnya, perempuan yang dapat memaknai arti kata perempuan itu sendiri.

Oh iya, tahu kah, apa arti kata perempuan? Ibu Ida, guru Bahasa Indonesia SMP 115 Jakarta (guru saya), pernah menyampaikan bahwa perempuan diambil dari kata per-empu-an. Empu sendiri memiliki arti 'yang dihormati' atau 'yang dimuliakan'. Artinya, perempuan memiliki arti kata tersebut, sehingga untuk melayakkan diri agar dihormati dan dimuliakan, perempuan perlu memanfaatkan emansipasi ini untuk ambil andil dalam perubahan dunia yang lebih baik, namun tetap tidak tinggi hati dengan menyombongkan diri atas kemuliaan, kesetaraan, dan kemampuannya.

Pandanglah manusia sebagai manusia, sehingga kita menjadi manusia yang lebih manusiawi, memiliki sifat kemanusiaan. Jadilah wanita yang memanfaatkan kesetaraan ini dengan lebih baik lagi, memberi perubahan, agar nantinya pemimpin, inisiator, influencer wanita bukanlah hal yang istimewa lagi, melainkan sudah selayaknya seperti itu. Ingat, emansipasi dan penyetaraan belumlah usai.

Anyway, saya tidak menyinggung pihak manapun, sehingga maaf apabila ada kesalahan kata maupun yang kurang berkenan. Selamat Hari Kartini!

Saya Shilla Dipo, ciao!

No comments:

Post a Comment