Dan kota-kota besar lainnya. Beberapa hari yang lalu saya
sempat melihat aksi seorang anak yang masih duduk di kelas 4 SD menghadang
pengendara motor yang lewat di trotoar. Meski sempat adu mulut, pengendara
motor akhirnya mundur dan turun dari trotar. Hebat banget aksi anak itu, tak
heran ia mendapat apresiasi dari Walikota Semarang.
Kemudian saya berpikir lebih lanjut, bukankah seharusnya itu
yang dilakukan kita semua? Kalau hanya mengandalkan polisi, mana mungkin semua
pengendara tak tahu diri itu bisa teratasi. Entah masyarakat yang sudah semasa
bodo itu dengan kondisi jalanan, atau ada rasa takut yang terbesit jika
menghadang para pengendara yang brutal itu.
Kalau saya perhatikan, memang persoalan di jalan itu tak
lagi sekedar kemacetan, tapi lebih dari pada itu. Saya melihat jalanan,
terutama di Jakarta, benar-benar brutal, bar-bar, dan di luar akal sehat:
RUWET. Hal ini yang selalu saya hadapi setiap pagi ketika berkendara, dan
tentunya kalian pun mengalami hal yang sama.
Pernah suatu hari, baru-baru ini lebih tepatnya, saya
melintas di Jalan Tegal Parang. Saat berbelok ke kiri tepat setelah Universitas
Paramadina, saya dihadapi pada kemacetan. Saya kesal bukan karena macetnya,
tapi kondisi trotoar di sebelah kiri saya dipenuhi motor yang melaju menuju
arah sebaliknya. Saya geleng-geleng kepala melihat kondisi tersebut.
Yang membuat saya naik pitam, ada salah seorang wanita yang
tengah berjalan di trotoar tersebut. Dari pakaiannya, ia adalah salah satu crew
dari stasius televisi TRANS TV. Ia berjalan tenang meski was-was karena
banyaknya motor yang lalu lalang. Tiba-tiba, ada motor yang melaju cukup
kencang (untuk berkendara di trotoar) yang melintas di sisi kanan wanita
tersebut dan melewati genangan sehingga celana dan sepatu wanita itu pun basah.
Tak ada kata maaf, bahkan menoleh pun tidak. Wanita berhijab
itu sepertinya juga sudah tak tahu harus berbuat apa. Ia hanya melihat si
pengendara motor dengan tatapan kesal dan tak percaya, seraya memegang bagian
celananya yang basah. Dari belakangnya, tetap saja motor-motor lainya seliweran
tak tahu diri. Apa yang saya lakukan? Saya hanya bisa meneriaki pengendara
motor tersebut. Setiap pengendara yang lewat di trotoar, saya teriaki dan nasehati
ketika memungkinkan. Entah apa yang ada di benak mereka, karena saya tidak tahu
lagi harus apa. Saya tak mungkin parkir sembarangan dan menghadang mereka atau
hal lainnya.
Selama perjalanan, saya berpikir, apa yang sebenarnya
diperlukan kota besar—terutama Jakarta—untuk mengatasi kondisi jalan yang kian
parah ini? Dan ini hasil pemikiran saya.
Kampanye Masal Dengan
Anak
Saya ingat salah satu iklan kampanye anti rokok di Thailand.
Pada tayangan tersebut, setiap anak meminta korek pada orang dewasa yang
merokok. Mereka ingin meminjamnya untuk menyalakan rokok mereka. Para orang
dewasa pun menasehati anak-anak itu dengan semua resiko merokok. Pada bagian
akhir, anak tersebut memberikan kertas yang bertuliskan, “Anda sangat tahu
resiko merokok dan peduli akan kesehatan saya. Mengapa Anda tak peduli pada
kesehatan Anda?”
Selain itu, aksi anak kecil di Semarang bernama Daffa
Faros Oktoviarto yang sempat saya singgung di awal paragraf juga menjadi
inspirasi luar biasa untuk menangani para pengendara tak bertanggung jawab
tersebut. Ide saya, lakukan kampanye untuk melakukan penghadangan oleh anak
kecil. Tetap dengan pengawasan tentunya, namun mereka bisa memiliki kekuatan
untuk membuka mata para pengendara agar tak melakukan pelanggaran di jalan.
Palang Pintu Kereta
Api
Saat itu saya sedang mengendarai motor di kawasan Mampang,
Jakarta Selatan. Semua pengendara, baik motor, mobil, hingga angkutan umum, tak
ada yang berhenti di belakang garis zebracross. Semua kendaraan memenuhi area
penyeberangan tersebut, sehingga seorang wanita paruh baya yang ingin
menyeberang mengalami kesulitan. Ia sibuk mencari celah dan justru diklakson
karena ia belum selesai menyeberang saat lampu lalu lintas berubah menjadi
hijau.
Saya sempat memberikan lambaian tangan untuk meminta
kerendahan hati para pengendara, hasilnya mereka ikut mengklakson saya karena
tidak tancap gas. Saat beliau berhasil menyeberang, saya melaju dan berpikir,
apa yang dapat membuat masyarakat tidak berhenti di area penyeberangan ketika
lampu merah. Aha! Palang pintu kereta api mungkin menjadi solusinya. Sepertinya
meningkatkan kesadaran masyarakat Jakarta itu sesulit mencari jarum di tumpukan
jerami, deh—hampir tidak mungkin. Solusinya, mereka dipaksa untuk berhenti
dengan menggunakan palang. Jadi, ketertiban tersebut harus dipaksa.
Pembatas tinggi
Tak hanya pengendara, pejalan kaki juga seringkali berjalan
seolah memiliki 7 nyawa—atau bahkan 9. Waktu itu saya sedang melaju di kawasan
Manggarai. Tepat di depan pasar rumput, terdapat jembatan penyeberangan yang
sangat sepi karena jarang dipakai. Sementara di bawahnya, orang-orang
menyeberang seenaknya. Bahkan, saya pernah melihat seorang perempuan lompat
dari halte Trans Jakarta ke jalan raya untuk menyeberang ke sisi kiri jalan.
![]() |
Doc. Kaskus.co.id |
Solusinya, buat pembatas yang tinggi antara jalur kanan dan
kiri. Jangan hanya dipisah oleh trotoar kecil saja. Selain itu, pembatas jalur
umum dan busway pun harus dibuat tinggi agar tidak ada yang nekat keluar-masuk
jalur yang tak seharusnya. Mungkin memang langkah ini masih kurang efektif,
namun setidaknya mengurangi pelanggaran yang dilakukan oleh para pengguna
jalan.
Besi Penahan di
Trotoar
Kalau tidak salah di tanggal 14 April lalu, saya sempat terbelalak
dengan aksi tercela dari salah satu pengendara taksi berwarna putih. Dengan
enaknya, ia menyusul taksi yang saya tumpangi melalui trotoar di kiri jalan.
Iya, TAKSI YANG MELAKUKANNYA WHICH IS MOBIL! Aduh, pusing kepala saya saat
melihat kejadian itu. Kenapa sih, semua orang semakin lama kian egois dengan
melakukan tindakan yang terbilang anarkis?
![]() |
Doc. Indonesiaharusberubah.blogspot.com |
Untuk itu, wilayah trotoar memang harus dikembalikan pada
fungsinya dengan memberikan pembatas yang terbuat dari besi, melintang di atas
trotoar. Hal ini sudah atau sempat diaplikasikan di kawasan Sudirman, Jakarta
Pusat. Sayangnya, masih kawasan tertentu yang menerapkan besi penghalang ini
sehingga masih banyak orang yang seenaknye berkendara di atas trotoar. Jika
diterapkan, memang pejalan kaki harus lebih berhati-hati, namun hal ini demi
keselamatan semua pihak, bukan. Jangan lupa juga untuk membuat trotoar lebih
tinggi agar motor atau mobil sulit naik ke atas trotoar. Namun, pertanyaan muncul tentu. Bagaimana dengan kaum disabilitas? Beri jalur khusus untuk mereka di atas trotoar agar tidak terkena besi penghalang. Bisa? Pasti!
Regulasi Khusus Untuk
Transportasi Online
Memang, adanya layanan transportasi online sangat membantu
kita, termasuk saya. Sayangnya, saya sudah hampir 2 kali menabrak ojek online
lantaran mereka berhenti mendadak sambil memegang ponselnya di tangan kiri
mereka. Sontak, saya marah, dong. Eh, dia lebih galak lagi, “Makanya pelan,
saya lagi nerima orderan, nih!” Kalau tidak salah saya sempat mendengar kalimat
tersebut. Saya teriak lagi, “Sinting!” sambil melaju. Duh, nggak ada waktu
untuk berurusan dengan orang seperti itu, deh.
Mungkin enaknya, setiap driver diwajibkan memasang phone
holder di motor sebelum beroperasi. Jangan lupa, gunakan handsfree untuk
memudahkan mereka dalam mendapatkan arah dari aplikasi peta, dan juga
menghubungi customer. Jika memang harus melakukan kontak langsung menggunakan
ponsel, seperti mengetik alamat, sms, WhatsApp, dan sebagainya, menepilah
terlebih dahulu. Regulasi dasar ini harus dipupuk bersama masyarakat dan pihak
penyedia aplikasi harus lebih tegas pada mitra kerjanya ini. Setiap ada
laporan, mitra alias driver, harus ditindak tegas. Ingat, jangan cuma bisnis,
tapi bersama-sama melakukan perbaikan bagi kondisi negeri, terutama lalu
lintas.
Sepertinya itu yang bisa saya sarankan untuk membuat kondisi
lalu lintas menjadi lebih baik. Bila ada masukan tambahan, atau mungkin ajakan
membuat sebuah kampanye, saya bersedia sekali untuk ambil andil. Boleh lho,
dikontak ke email saya. Ditunggu!
Saya Shilla Dipo, ciao!
No comments:
Post a Comment