Friday, April 22, 2016

Benarkah Ekspektasi Perlu Dihilangkan Agar Tak Merasa Kecewa?

Hello, it's me.......again. Sebelumnya, saya mau bercerita sedikit tentang apa yang saya lakukan dua hari yang lalu. Wah, it was a great day! I met the first winner of World Barista Championship 2014. His name is Hidenori Izaki. Tak hanya itu, saya pun bertemu dengan komunitas Barista Indonesia. Banyak perbincangan menarik, banyak teman baru, dan tentunya pengalaman baru. Oh, ada salah satu kutipan dari rekan media bernama Wulan, "Memang, gaji wartawan nggak besar banget, tapi kita bisa duduk bersama rakyat jelata, hingga orang penting, bahkan Presiden sekalipun." Hmm, membuat saya bersyukur menjalani profesi ini.

Now, it is time to talk about the topic: Benarkah ekspektasi perlu dihilangkan agar tak merasa kecewa? Pertanyaan ini saya renungkan ketika banyak orang yang mengatakan, "less expectation is better." Awalnya, saya sempat berpikir demikian. Cukup lama saya memegang prinsip tersebut. Saat itu, saya berpikir jika ekspektasi yang tinggi akan membuat kita mudah kecewa. Lebih baik berpikir buruk, sehingga jika hasilnya baik maka bersyukur dan jika tidak, kita pun tak merasa kecewa.

Dua hari yang lalu, usai liputan yang menyenangkan dengan bertemu orang-orang kopi tersebut, saya terlibat sebuah perbincangan menarik dengan Fina. Bagi saya, dia orang yang sebenarnya cerdas, kritis, pemikir, bahkan mampu mengamati berbagai kejadian dengan cukup detail. Sayangnya hanya satu, rasa percaya dirinya seringkali luntur entah mengapa. Jika saya perhatikan, banyak kesempatan baik yang justru luntur akibat rasa percaya diri yang kendur.

"Rasanya, aku nggak bisa memenuhi ekspektasi banyak orang terhadapku," ucapnya saat itu. Ekspektasi dan harapan. Terbesit di otak saya, apakah hidup saya ini--dengan menjadi wartawan--sudah memenuhi ekspektasi orang-orang di sekeliling saya? Saya coba jabarkan dulu pemikiran saya di tulisan ini, ya.

Ibu saya adalah seorang psikolog. Saat dulu saya ingin terjun ke dunia kuliah, ia berharap saya dapat melanjutkan cita-citanya yang tertunda--menjadi arsitek. Pada saat yang sama, almarhum kakek saya pernah menitip pesan agar saya masuk ke jurusan hukum. Berbeda lagi dengan ayah saya yang seringkali menawarkan Fakultas Kedokteran untuk digeluti. Semua orang memiliki ekspektasi yang berbeda terhadap diri saya. Semua jurusan tersebut sudah saya coba, namun gagal di tengah jalan. Ujungnya, saya nyemplung ke Jurusan Hubungan Internasional.

Saya ingat betul ketika saya sedang menginap di salah satu tempat bimbingan belajar, Inten Kalimalang (entah mengapa dulu saya rajin banget sampai menginap di tempat bimbingan belajar). Malam itu, saya dan teman-teman yang menginap juga, berkumpul di ruang tengah untuk berdoa karena hari itu adalah pengumuman hasil ujian masuk jalur mandiri Universitas Padjadjaran. Alhamdulillah, saya menjadi orang pertama yang menerima sms dari UNPAD di mana isinya adalah pernyataan bahwa saya lolos.

Tentu, ucapan selamat datang dari teman-teman saat itu dan saya langsung mengabari kedua orangtua. Karena hari itu sudah menunjukkan pukul 1 dini hari, maka tentunya kedua orangtua sudah terlelap. Keesokan harinya, saya masih di Inten karena mengikuti kelas intensif untuk SNMPTN. Tak ada balasan dari keluarga. Sedikit kecewa, sedih, namun tetap bersyukur dengan pencapaian yang saya dapatkan. Saya pun pulang, dan seingat saya, masih tidak ada ucapan apapun dari keluarga.

Saya menanyakan apakah mereka menerima sms dari saya atau tidak. Saat itulah mereka baru memberikan selamat, meski tidak terlihat antusias. Orangtua, terutama mama, memang kurang berkenan jika saya harus kuliah di luar kota, Pendaftaran UNPAD pun saya lakukan dengan memaksa kedua orangtua saya terlebih dahulu, walaupun ayah saya setuju-setuju saya.

Saat itu saya paham betul, pencapaian tersebut tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. Setidaknya, itu yang saya lihat. Kekecewaan itu tetap saya rasakan, namun bukan berarti membunuh semangat. Sebaliknya, saya ingin mereka memahami bahwa dengan masuk ke universitas yang saya inginkan itu, saya pun tetap akan membanggakan mereka--sesuai dengan ekspektasi mereka.

Sekarang, saya bekerja sebagai wartawan. Honestly, gaji seorang wartawan tidaklah besar. Biasa saja. Apakah profesi saya sesuai ekpektasi orangtua? Hmm, I don't know. Mungkin dulu mereka jelas mengatakan, "Kamu nggak mau kerja di perusahaan multinasional atau pemerintahan?" Jawaban saya, "nope". Memang, mungkin kesejahteraan saya bisa lebih terpenuhi. Namun, apakah hal tersebut menjamin kebahagiaan saya?

Ada dua hal yang ingin saya tekankan di sini. Pertama, bagaimana kita berekspektasi pada orang lain, dan yang kedua adalah bagaimana menanggapi ekspektasi orang lain atas kita.

Ekspektasi Atas Orang Lain

Seperti rasa kecewa saya dengan orangtua yang tak memberi selamat, atau menunjukkan rasa senang ketika saya masuk UNPAD, saya yakin rasa kecewa itu muncul karena reaksi mereka tak sesuai dengan ekspektasi saya. Ketika lulus, saya bertanya pada mama mengapa ia tidak senang saat saya masuk UNPAD dulu, mama menjawab, "Siapa bilang mama nggak senang? Mama senang, tapi memang agak khawatir aja karena kamu di sana. Masa iya mama nggak senang anaknya masuk universitas negeri."

Saya tersenyum sekaligus malu, karena pemikiran saya selama kurang lebih 5 tahun, salah. Hal yang membuat kekeliruan ini, tak lain adalah ekspektasi. That's why banyak orang berkata, "less expectation is better" karena memang sebaiknya tak perlu berekspektasi dengan orang lain. Hilangkan ekspektasi atas orang lain, jika kita ingin melihat kemurnian dari orang tersebut. Sulit dipahami, ya?

Intinya begini, saat kita berekspektasi atas orang lain, maka kita berharap agar orang tersebut melakukan atau bereaksi atas suatu hal, sesuai dengan cara pemikiran kita. Padahal, setiap kepala tentu punya pemikiran berbeda sehingga caranya pun berbeda dalam berekspresi. Tak hanya itu, pemikiran yang berbeda juga tentu membuat orang lain memiliki keinginan dan tujuan yang berbeda. Simple-nya deh, kita berharap saat ulang tahun nanti, pasangan memberikan kejutan dengan makan malam romantis berdua. Tapi yang terjadi, ia justru mengundang seluru teman-teman kita untuk memberikan kejutan. Meski senang, tapi pasti terbesit rasa kecewa, kan? Dengan ekspektasi atas orang lain, maka kita tidak bisa melihat kemurnian dari niat baik seseorang. Tanpa sadar, kita pun menghancurkan ekpektasi pasangan, bukan?

Karena alasan-alasan ini, saya lebih baik berhenti berekspektasi atas orang lain. Mungkin memang sulit untuk dilakukan, namun setidaknya saya mengurangi ekspektasi dan kalaupun tanpa sadar harapan itu muncul, saya akan memikirkan pula resikonya sebagai antisipasi dari ekspektasi saya. Lagi pula, menghilangkan ekspektasi sepertinya juga membuat kita menjadi lebih ikhlas, deh.

Ekspektasi Orang Lain Atas Kita

Untuk poin ini sebenarnya agak sedikit tricky, ya. Tapi here is the fact, waktu itu saya pernah menulis 5 hal yang seringkali disesali saat seseorang mendekati ajal. Salah satu penyesalan tersebut adalah 'hidup dalam ekspektasi orang lain'. Mengapa kita harus repot memenuhi ekspektasi orang lain, walaupun hal tersebut bukanlah yang kita inginkan? Hidup dalam harapan orang lain, menurut saya, artinya tidak memiliki arah. Kita bisa saja bingung karena tak tahu ekspektasi siapa yang seharusnya dipenuhi.

Lakukan sesuatu karena memang kita ingin melakukannya. Jangan melakukan sesuatu karena paksaan. Mengapa? Bagi saya, setiap hal tentu ada resiko, bukan? Ketika hal tersebut merupakan dorongan dari orang lain, kita pasti akan menyesal ketika resiko itu datang menghampiri. Remember, other people may suggest you something, they help you to make a decision by their suggestion, BUT when the risk comes, you are the only one who face it. Ingat, ini adalah hidup kita, jadi jangan biarkan orang lain yang mengaturnya.

Masukan boleh saja didengarkan, selama hal tersebut sesuai dengan arah dan tujuan hidup kita. Prinsip hidup. Wait a second, apakah kalian tahu apa tujuan hidup kalian? Jika tidak, come on! Pikirkan dari saat ini, agar kita dapat menaruh ekspektasi pada diri, memiliki prinsip, dan tahu mana yang baik dan tidak untuk kita. Hal ini membuat kita tak mudah disetir oleh orang lain. Ketika orang lain mengekspektasikan sesuatu yang tak sesuai dengan tujuan hidup, kita bisa mengatakan pada mereka, "I want this and I don't want that. I know my way, and I just need you to pray for me. Wish me luck!"

Apabila keputusan kita salah, dan orang tersebut mencibir, kita pun tidak akan peduli. Mengapa? Karena dari kesalahan dan kegagalan itulah kita berkembang, berproses, untuk mencapai apa yang kita tuju. Kita pun tak akan menyalahkan siapapun, dan penyesalan akan berkurang. "Yes I was wrong, but now I know how to pursue my dream."

Masalahnya, bagaimana kita mengetahui apa yang sebenarnya kita inginkan? Talk to yourself. Daripada curhat, lebih baik banyaklah berkomunikasi dengan diri sendiri. Jelas terpercaya dan tak akan menjatuhkan. Apapun masalah kita, cobalah untuk tenang dan berkomunikasi dengan diri sendiri. Tanyakan, apa yang membuat kita bahagia, mau menjadi apa kita. Ingat, jangan menjadikan oranglain sebagai alasan. Satu-satunya yang melibatkan orang lain adalah pertanyaan ini, "saat saya mati nanti, mau dikenal sebagai sosok yang seperti apakah saya?" Kematian adalah akhir proses hidup, di mana saat itulah citra diri yang sesungguhnya melekat pada kita.

Jadi, hilangkan ekspektasi untuk orang lain dan tak perlu khawatirkan ekpektasi orang lain atas kita. berekspektasilah pada diri sendiri. Tak perlu teman diskusi, cukup diri sendiri dan Tuhan tentunya. God will help you, anyway. Ah, saya punya quote yang yah, lumayan kayaknya.

"The solution of your problem is hiding in your brain and you won't find it until you talk to yourself," - Shilla Dipo

Mantap! Hahaha..(anyway, quote ini dibuat di taksi saat bersama Fina saat saya di jalan pulang).

Saya Shilla Dipo, ciao!




No comments:

Post a Comment